Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan hasil kajian tentang perubahan kelima Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 akan menjadi bahan rekomendasi kepada pimpinan MPR RI periode 2024-2029.

“Hasil kajian tentang perubahan ke-5 UUD NRI 1945 ini akan menjadi bahan rekomendasi pimpinan MPR RI sekarang kepada pimpinan MPR RI periode 2024-2029," kata Bamsoet, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

Hal itu disampaikannya setelah membuka Focus Group Discussion (FGD) bersama Forum Aspirasi Konstitusi tentang Penataan dan Penguatan Kelembagaan MPR, DPR, DPD melalui Perubahan Ke-5 UUD, Jakarta, Senin.

Bamsoet menyatakan sepakat dengan Ketua Forum Aspirasi Konstitusi sekaligus anggota DPD RI dan pakar hukum tata negara Prof. Jimly Asshiddiqie yang turut hadir pada diskusi tersebut bahwa UUD 1945 bukanlah kitab suci yang tabu untuk diubah.

Melainkan, lanjut dia, harus terus menerus dilakukan evaluasi secara mendalam agar UUD 1945 dapat menjawab tantangan zaman.

"Evaluasi konstitusi bukan semata pada penataan kewenangan lembaga negara, seperti halnya penguatan MPR RI, baik dari sisi kewenangan maupun keanggotaan, melainkan juga pada perbaikan redaksional dalam penulisan konstitusi. Prof. Jimly
menyebut istilah merakit, merajut, dan menjahit kembali naskah konstitusi pascareformasi,” ujarnya.

Dia menilai setelah empat kali amendemen, dibutuhkan penataan kembali sistem politik ketatanegaraan pascareformasi berjalan 25 tahun guna melihat sejauh mana konstitusi telah bekerja untuk kemajuan bangsa.

Berkaca pada negara lain, tambah dia, Amerika Serikat (AS) telah 27 kali melakukan amendemen konstitusi dan saat ini sedang menyiapkan kembali amendemen konstitusinya untuk ke-28 kali.

Dia menjelaskan Forum Aspirasi Konstitusi pun sudah menyerap aspirasi dari berbagai kalangan yang menginginkan agar MPR dapat kembali menjadi lembaga tertinggi negara sehingga bisa berperan aktif menyelesaikan berbagai perselisihan kebuntuan politik dan hukum yang terjadi di tanah air.

Dia menilai MPR RI juga perlu diisi kembali oleh Utusan Golongan, selain diisi oleh anggota DPR sebagai representasi politik dan anggota DPD RI sebagai representasi golongan.

"Kehadiran Utusan Golongan sejak awal kemerdekaan telah diinisiasi oleh para founding fathers kita dengan semangat tidak boleh ada satupun elemen bangsa yang ditinggalkan. Reformasi justru menghapuskan keberadaannya. Tidak heran jika kini banyak kelompok masyarakat yang tidak puas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya karena mereka merasa tidak dilibatkan, bahkan merasa ditinggalkan," tuturnya.

Menurut dia, keberadaan Utusan Golongan yang mewakili golongan tertentu juga terdapat di berbagai parlemen negara maju, misalnya di Inggris ada House of Lords yang diisi para bangsawan dan kalangan agamawan, atau di Parlemen India melalui Rajya Sabha yang diisi orang-orang yang memiliki keahlian atau pengalaman khusus dalam berbagai bidang, seperti seni, sastra, sains, dan pelayanan sosial.

"Esensi dari demokrasi bukan hanya tentang keterpilihan, melainkan juga tentang keterwakilan. Tidak semua yang dipilih melalui pemilu bisa mewakili aspirasi rakyat. Untuk itu, perlu dilengkapi dengan Utusan Golongan yang bisa mewakili kelompok masyarakat tertentu seperti golongan seniman, golongan budayawan, golongan adat, golongan agamawan, hingga golongan profesi seperti guru, wartawan, dan dokter,” katanya.

Dia menegaskan bahwa keberadaan Utusan Golongan dapat memastikan setiap kelompok masyarakat memberikan perspektif dan masukan yang berharga dalam proses legislatif maupun dalam proses kehidupan kebangsaan dalam arti yang lebih luas.

Pada kesempatan tersebut, turut hadir pula Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad, Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai, serta Ketua Komite III DPD RI Hasan Basri, dan para anggota DPD RI.

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024