Kami orang Prancis, jadi kami harus menaruh anggur dalam kisah ini."
Jakarta (ANTARA News) - Para ilmuwan menghidupkan kembali virus berukuran raksasa yang terkubur selama 30.000 tahun di dalam es Siberia dan masih menular.
Sasarannya amuba, tapi para peneliti menduga ketika es Bumi meleleh, virus itu dapat memicu kembalinya virus-virus purba yang berisiko mengganggu kesehatan manusia.
Virus yang baru itu adalah yang paling besar yang pernah ditemukan. Panjangnya 1,5 mikrometer, sebanding dengan ukuran bakteri kecil.
Ahli evolusi biologi Jean-Michel Claverie dan Chantal Abergel, suami dan istri dalam tim peneliti dari Aix-Marseille University di Prancis yang memimpin penelitian itu menamainya Pithovirus sibericum.
Pemberian nama terinspirasi oleh kata pithos dalam bahasa Yunani yang artinya wadah besar besar untuk menyimpan anggur dan makanan.
"Kami orang Prancis, jadi kami harus menaruh anggur dalam kisah ini," kata Claverie di laman jurnal ilmiah internasional Nature pada Senin (3/3).
Claverie dan Abergel membantu menemukan virus lain yang disebut virus berukuran raksasa, seperti Mimivirus dan dua lainnya yang disebut Pandoravirus.
"Sekali lagi, kelompok ini telah membuka mata kita pada keragaman sangat besar dalam virus-virus berukuran raksasa," kata Curtis Suttle, virolog di University of British Columbia di Vancouver, Kanada, yang tidak terlibat dalam penelitian itu.
Dua tahun lalu, tim Claverie dan Abergel mengetahui bahwa para ilmuwan di Rusia menghidupkan lagi tumbuhan purba dari buah-buah yang terkubur selama 30.000 tahun di permafrost --tanah beku permanen-- Siberia.
"Jika memungkinkan untuk menghidupkan lagi tumbuhan, maka saya berpikir apakah mungkin untuk membangkitkan lagi virus," kata Claverie.
Menggunakan sampel-sampel permafrost dari tim Rusia, mereka memancing virus raksasa itu menggunakan amuba --sasaran dari patogen itu-- sebagai umpan.
Amuba itu mulai sekarat dan tim menemukan partikel virus raksasa di dalamnya.
Di bawah mikroskop, Pithovirus tampak seperti dompet oval tebal dengan bukaan pada salah satu bagian belakangnya, dan punya banyak kemiripan dengan Pandoravirus.
Namun disamping kesamaan bentuk itu, Abergel mencatat bahwa "mereka virus yang sepenuhnya berbeda."
Hasil penelitian tentang virus raksasa tersebut dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.
Bagian mengejutkan
Pithovirus punya "sumbat" dengan struktur sarang lebah menutup bukaannya.
Virus ini menyalin dirinya sendiri dengan membangun "pabrik" penggandaan di dalam sitoplasma induknya alih-alih mengambil alih nukleus seperti yang dilakukan kebanyakan virus.
Hanya sepertiga dari proteinnya membawa kesamaan dengan virus yang lain.
Hal yang mengejutkan tim itu, genomnya jauh lebih kecil dari pada genom Pandoravirus, meski ukurannya lebih besar.
"Partikel sangat besar itu pada dasarnya kosong," kata Claverie.
Meskipun virus-virus raksasa itu hampir selalu menyasar amuba, Christelle Desnues, virolog dari French National Centre for Scientific Research di Marseilles, tahun lalu menemukan tanda-tanda bahwa virus berukuran raksasa yang lain, Marseillevirus, telah menginfeksi bayi berusia 11 bulan.
Dia menjalani perawatan di rumah sakit dengan kelenjar getah bening meradang dan tim Desnues menemukan jejak DNA Marseillevirus dalam darahnya, serta virus itu dalam satu node (simpul).
"Jelas bahwa virus-virus raksasa itu tidak bisa dilihat sebagai mahluk yang berdiri sendiri," katanya.
Mereka merupakan bagian integral dari virosphere dengan implikasi pada keragaman, evolusi dan bahkan kesehatan manusia.”
Claverie dan Abergel memperhatikan bahwa kenaikan temperatur global, bersama dengan kegiatan pengeboran Kutub Utara, bisa mencairkan lebih banyak virus purba yang masih menular dan mengancam kesehatan manusia.
Namun, Suttle menyatakan bahwa orang-orang sudah menghirup ribuan virus setiap hari, dan menelan jutaan saat berenang di lautan. (*)
Penerjemah: Maryati
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014