Mataram (ANTARA) - Ia adalah Idham Khalid, perajin layangan yang berusia 41 tahun dari Desa Jagaraga di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Ketua Komunitas Dragon's Shadow itu memasang mata jeli mengamati setiap lambaian pucuk ilalang untuk mengambil momentum yang tepat menerbangkan layangan naga sepanjang 90 meter.

Ketika angin mulai bertiup yang memunculkan suara gemerisik dedaunan, ekor layangan paling ujung dilepas perlahan, hingga bagian paling akhir atau kepala.

Idham tahu kebiasaan embusan monsun yang akhirnya mengangkat layangan naga itu terbang sempurna mewarnai langit di kawasan bekas Bandara Selaparang di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

"Angin harus kencang untuk menerbangkan layangan naga yang berat," kata Idham saat ditemui ANTARA, dalam ajang Aliansi Layangan Festival Volume 3 di Mataram, pada pengujung Juli 2024.
Peserta mempersiapkan layangan naga sebelum diterbangkan dalam festival layangan di kawasan bekas Bandara Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Minggu (28/7/2024). (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Komunitas Dragon's Shadow menurunkan tujuh orang untuk menerbangkan, mengendalikan, dan mendaratkan layangan naga sepanjang 295 kaki tersebut yang diikat senar tali tambang.

Setiap pelayang harus mendengarkan aba-aba dari ketua tim dengan skema satu komando. Ketika sinkronisasi tak berjalan mulus, maka layangan bisa terancam gagal terbang.

Kumulonimbus yang sempat menghalangi sinar Matahari mulai tersibak. Panas menyeruak menimbulkan fatamorgana air pada landasan pesawat terbang.

Sepuluh menit hingga waktu hampir berakhir. Idham menginstruksikan timnya untuk bersiap-siap mendaratkan layangan naga yang berwarna merah, jingga, hijau, dan biru itu secara perlahan. Proses pendaratan pertama dimulai dari kepala hingga akhirnya sampai ekor.

Seluruh anggota tim Dragon's Shadow bersorak gembira dan berlompatan mengungkapkan rasa bahagia atas penerbangan dan pendaratan layangan naga yang mulus.

Idham menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan untuk melepas ketegangan yang tertahan selama 10 menit. Ekspresi yang tadi kaku, kini mulai mencair, tatapan matanya meluapkan kebahagiaan.


Butuh kekompakan

Layangan telah ada sejak ribuan tahun lalu mewarnai sejarah panjang peradaban umat manusia. China melukiskan permainan layangan pertama di dunia yang dilakukan sekitar 2.500 tahun sebelum Masehi.

Beberapa literatur menyebutkan penggambaran layangan tertua terpatri melalui lukisan gua periode mesolitik di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, yang diperkirakan ada sekitar 4.000 tahun sebelum Masehi.

Sementara itu, penerbangan layangan paling fenomenal dilakukan oleh ilmuwan fisika bernama Benjamin Franklin yang juga merupakan seorang tokoh terkenal Amerika Serikat.

Pada pertengahan abad ke-17, Benjamin menerbangkan layangan di tengah badai untuk mempelajari hubungan antara listrik dan petir. Eksperimen itu melahirkan sebuah temuan penting berupa alat penangkal petir yang dipakai hingga kini untuk melindungi gedung-gedung tinggi dari pelepasan listrik awan badai.
Peserta menarik senar untuk menurunkan layangan naga sepanjang 90 meter dalam festival layangan di kawasan bekas Bandara Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Minggu (28/7/2024). (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Semilir angin musim pancaroba di Kota Mataram terasa dingin dan menyegarkan. Hawa sejuk dari dataran Australia yang membeku terbawa hingga ke Pulau Lombok.

Seorang bocah berusia belasan tahun berjalan mundur keluar lintasan bandara ke hamparan ilalang sembari memegang rangka layangan bebean berwarna hijau hitam setinggi dua meter.

Matanya selalu tertuju ke pangkal senar nilon yang berada sejauh tiga puluh meter. Ketika senar menegang, layangan bebean itu pun dilepas hingga akhirnya meluncur ke angkasa.

Setiap sesi penerbangan ada enam sampai 10 layangan yang terbang secara bersamaan. Kumpulan layangan itu membuat langit tampak meriah.

Senar diulur hingga mencapai ketinggian 100 meter. Layangan meliuk-liuk menahan tekanan angin. Di tengah landasan bandara orang-orang bersorak sorai menyaksikan tarian alun layangan yang mengudara.

Ketua Panitia Aliansi Layangan Festival Volume 3 I Gede Galang Intaran mengatakan menerbangkan layangan butuh kekompakan dan kerja sama tim yang solid.

Jika layangan terbang diam saja, itu justru tidak bagus. Tarian layangan yang meliuk-liuk punya nilai tinggi.

Sekelompok pemuda berpakaian serba hitam berjumlah 10 orang berlarian kecil mengendalikan layangan agar meliuk-liuk. Mereka bisa berlari mundur hingga sejauh 100 meter demi layangan terbang menari.

Setiap tim harus bisa menurunkan layangan tanpa menyentuh tanah. Namun, beberapa layangan mendarat tak terkendali dan menabrak kerumunan warga yang menonton festival.

Seorang penonton terkejut saat layangan bebean hitam menabraknya dari belakang. Sendaringan—alat yang dapat mengeluarkan suara karena embusan angin—, terlepas dari kepala bebean akibat tabrakan. Beruntung penonton itu tidak terluka oleh mainan tradisional tersebut.

Layangan bukan hanya sekadar permainan, tetapi sebuah ekspresi dari kreativitas akal pikiran yang berpadu dengan perasaan. Kekompakan dari sebuah tim adalah jalan untuk menjadi yang terbaik.


Potensi pariwisata

Bulan Juni, Juli, dan Agustus adalah momen paling pas menerbangkan layangan karena angin berembus kencang dan kemarau, sehingga langit bersih dari badai dan petir.

Kota Mataram telah menyelenggarakan festival layangan sebanyak tiga kali. Ajang pertama dilakukan pada Agustus 2022 yang diikuti oleh 45 peserta, lalu ajang kedua juga dilakukan pada bulan yang sama di 2023 dengan jumlah sebanyak 85 peserta.

Kedua festival itu sempat diselenggarakan di kawasan pantai, namun karena garis pantai yang sempit akhirnya ajang layangan tahun ini pindah ke bekas Bandara Selaparang yang diikuti oleh 161 peserta dari Pulau Lombok, Bali, hingga Jawa.

Bermain layangan adalah hal yang lumrah, terutama ketika musim panen padi tiba. Lahan persawahan yang kering dan luas menjadi arena yang pas untuk menerbangkan layangan.

Seiring pembangunan kota, lahan-lahan persawahan kian menyempit beralih-fungsi menjadi permukiman, perkantoran, maupun kawasan ekonomi.
Peserta menerbangkan layangan berbentuk burung dalam festival layangan di kawasan bekas Bandara Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Minggu (28/7/2024). (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Aliansi Pemuda Hindu Lombok lantas mengambil inisiatif untuk menghidupkan kembali permainan tradisional yang hampir punah tersebut. Sebanyak tiga festival layangan yang berlangsung selama tiga tahun terakhir digerakkan oleh mereka.

Para pemuda itu berharap keberadaan festival layangan dapat menjadi magnet bagi para turis dan pelancong untuk mengunjungi Pulau Lombok, terkhusus Kota Mataram.

Mereka sadar pariwisata yang memikat tidak hanya dari alam saja, tetapi juga atraksi budaya. Alam dan atraksi budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dalam pengembangan sektor pariwisata.

Pemerintah Kota Mataram menyambut baik upaya para pemuda menyelenggarakan festival layangan selama tiga tahun terakhir. Demi keberlanjutan acara, pemerintah daerah akan memasukkan festival itu ke dalam kalender pariwisata Kota Mataram.
Peserta membawa layangan kreasi dalam festival layangan di kawasan bekas Bandara Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Minggu (28/7/2024). (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Kepala Dinas Pariwisata Kota Mataram Cahaya Samudera mengatakan kota-kota yang memiliki kalender pariwisata padat merangkul setiap komunitas dalam penyelenggaraan kegiatan.

Tradisi dan budaya lokal yang membumi diangkat ke permukaan dengan harapan bisa menarik jutaan pasang mata yang melihat. Daya tarik muncul memikat orang-orang untuk menikmati setiap suguhan keindahan.

Dia memberi contoh di Banyuwangi ada 99 kalender pariwisata, yang tidak mungkin dikerjakan oleh pemerintah sendiri, tetapi apa yang tumbuh di masyarakat itu diangkat dan dikelola.

Sedikit demi sedikit, Matahari bergerak kembali ke peraduan. Landasan terbang yang tadinya ramai dan riuh perlahan mulai hening. Langit kembali bersih dari taburan layangan.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024