Purwokerto (ANTARA) - Kemungkinan terjadinya penurunan daya tahan tubuh yang berdampak terhadap munculnya penyakit harus diantisipasi.

Itulah yang mendasari niatan Bayu Nur Sasongko (43), warga Desa Dukuhwaluh, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, untuk menjadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Awalnya, Bayu meragukan kualitas pelayanan dari Program BPJS Kesehatan, namun setelah mendengar testimoni dari sejumlah rekannya, dia akhirnya mendaftar sebagai peserta JKN.

Dia mendaftar JKN secara daring pada Juni 2024, yang diakuinya melalui proses dengan sangat mudah.

Selang satu bulan setelah terdaftar sebagai peserta JKN Kelas III, berbagai cobaan harus dihadapi oleh Bayu beserta keluarga, karena salah seorang anaknya menderita demam berdarah, sehingga harus menjalani rawat inap di salah satu rumah sakit di Purwokerto, Kabupaten Banyumas.

Selain anaknya, Bayu pun harus menjalani rawat inap karena demam berdarah dan tifus. Bahkan, setelah menjalani rawat inap, Bayu masih harus menjalani rawat jalan di rumah sakit lain karena adanya penyakit di sekitar matanya.

Ia tidak menyangka selama anaknya maupun dirinya menjalani rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit, seluruh biaya pengobatan dan perawatan betul-betul ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Tidak hanya itu, dia juga merasakan berbagai kemudahan dan kesetaraan pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit kepada seluruh peserta JKN. Dalam hal ini, seluruh peserta JKN mendapatkan pelayanan yang sama. Perbedaannya hanya pada layanan ruang kelas untuk rawat inap.

Kendati demikian, Bayu tidak mempermasalahkan ruang rawat inap karena yang terpenting adalah kesetaraan pelayanan terhadap pasien JKN, tanpa membedakan kelas layanan yang diikuti.

Dia bertutur, kalau tidak menjadi peserta JKN, dia tidak dapat dibayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan, meskipun sama-sama dirawat di ruang kelas III. Dengan JKN, dia tidak mengeluarkan biaya, meskipun baru sebulan terdaftar menjadi peserta.

Terkait dengan pengobatan mata, dia mengaku dirujuk ke salah satu rumah sakit di Yogyakarta, setelah menjalani dua kali rawat jalan di rumah sakit khusus mata di Purwokerto.

Akan tetapi dia belum memanfaatkan rujukan tersebut karena masih terbentur anggaran transportasi untuk berangkat ke Yogyakarta.

Peserta JKN lainnya, Nenden Cahya Ningkat (40), juga merasakan berbagai kemudahan dan manfaat yang diberikan oleh BPJS Kesehatan karena dia tetap bisa mengakses layanan kesehatan di Purwokerto, meskipun tercatat sebagai warga Kabupaten Cilacap.

Dia mengikuti suami yang bekerja di Purwokerto, sehingga fasilitas kesehatan tingkat pertamanya dimutasi ke salah satu dokter praktik perseorangan yang ada di kota itu.

Selama tinggal di Purwokerto, anak bungsunya yang lahir pada tahun 2020 sempat dua kali menjalani rawat inap dan dilanjutkan pemeriksaan rutin tiap bulan. Bahkan, saat menjalani rawat inap untuk pertama kalinya, anak ketiga Nenden itu harus dirawat selama 10 hari.

Meskipun biaya pengobatan anaknya gratis, dia tetap harus mengeluarkan biaya tambahan yang relatif murah karena memanfaatkan fasilitas naik kelas rawat inap, yakni dari kelas II menjadi kelas I.

"Kalau saya perhatikan, layanan untuk peserta JKN kelas II maupun kelas I tetap sama, perbedaannya hanya jumlah pasien di ruang rawat inapnya saja," katanya,

Demikian pula ketika mendiang ibundanya yang terdaftar sebagai peserta JKN kelas III menjalani perawatan di rumah sakit, dia melihat adanya kesetaraan layanan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan maupun rumah sakit.

Saat itu, mendiang ibunda Nenden yang merupakan warga Cianjur, Jawa Barat, datang berkunjung ke Purwokerto. Karena kunjungan tersebut direncanakan tidak berlangsung lama, Nenden tidak memutasikan faskes ibundanya untuk sementara waktu.

Tanpa diduga, ibundanya mendadak sakit, sehingga harus dibawa ke instalasi gawat darurat salah satu rumah sakit swasta di Purwokerto. Meskipun faskes ibunda Nenden masih terdaftar di Cianjur, pihak rumah sakit tetap memberikan pelayanan terbaiknya di ruang rawat inap kelas III, sesuai dengan kepesertaan pasien.

Setelah beberapa hari menjalani rawat inap, mendiang ibunda Nenden diperbolehkan pulang, meskipun harus menjalani rawat jalan pada dokter spesialis penyakit dalam yang menanganinya selang satu pekan setelah keluar dari rumah sakit.

Oleh karena tercatat sebagai peserta JKN, seluruh biaya pengobatan dan perawatan mendiang ibunda Nenden itu gratis.

Selang satu pekan kemudian, mendiang ibunda Nenden menjalani rawat jalan pascarawat inap dan dinayatakan telah sembuh berdasarkan hasil pemeriksaan dokter.

Namun sesampainya di rumah anaknya, saat hendak tidur malam, mendiang ibunda Nenden mengeluh sulit bergerak dan keesokan harinya, dia makin merasa sulit bergerak. Oleh karena itu, Nenden berinisiatif memanggil ambulans dari rumah sakit yang sebelumnya merawat.

Sesampainya di IGD, mendiang ibundanya menjalani pemeriksaan oleh dokter jaga dan diduga mengalami gejala stroke, sehingga disarankan untuk segera dibawa ke Unit Geriatri RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto guna mendapat pelayanan lebih lanjut dengan diantar mobil ambulans rumah sakit swasta tersebut secara gratis.

Berdasarkan hasil pemeriksaan di Unit Geriatri, mendiang ibunda Nenden diketahui tidak mengalami gejala stroke, melainkan gagal ginjal, sehingga harus dibawa ke Ruang HCU di pusat perawatan RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto.

Setelah menjalani perawatan selama tiga malam di Ruang HCU, ibunda Nenden meninggal dunia dan seluruh biaya pengobatan maupun perawatan ditanggung oleh BPJS Kesehatan, tanpa proses yang merepotkan keluarga pasien.

Kemudahan lain dari BPJS Kesehatan juga dia rasakan belum lama ini, saat berkunjung ke rumah adiknya di Cianjur.

Saat itu, dia sakit diare dan berobat ke salah satu faskes terdekat. Dengan berbekal kartu kepesertaan JKN, dia pun mendapatkan pengobatan di faskes tersebut, meskipun ada beberapa pertanyaan yang diajukan bagian pendaftaran untuk memastikan keberadaannya di Cianjur hanya sekadar kunjungan biasa ataukah untuk jangka lama.

Oleh karena itu, dia merasa puas dengan berbagai kemudahan dan manfaat yang diberikan oleh BPJS Kesehatan dan berharap berbagai inovasi dapat terus dihadirkan bagi peserta JKN.

Terkait dengan layanan faskes, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Purwokerto Niken Sawitri mengatakan mitra Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang akan bekerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib memenuhi persyaratan teknis saat proses kredensial atau credentialing.

Persyaratan tersebut, di antaranya jenis pelayanan dan sumber daya manusia ketersediaan dokter dan tenaga medis, kelengkapan sarana dan prasarana, sistem dan standar pelayanan, serta prosedur dan administrasi.

"BPJS Kesehatan mewakili peserta JKN menaruh harapan yang besar kepada fasilitas kesehatan agar peserta dilayani sesuai dengan ketentuan medis dengan cepat, tepat, dan tanpa diskriminasi untuk mendapat pelayanan berkualitas," katanya.

Diharapkan FKTP dan FKRTL terus mengoptimalkan perbaikan sistem layanan untuk peserta JKN agar lebih efisien dan terus berusaha melengkapi sarana prasarana yang mendukung pemberian pelayanan kesehatan untuk peserta JKN.

Selain itu, BPJS Kesehatan juga memberikan kemudahan bagi peserta JKN yang sedang berada di luar domisili untuk tetap bisa mengakses layanan maksimal 3 kali kunjungan dalam kurun waktu paling lama satu bulan.

Berbagai kemudahan, manfaat, dan kesetaraan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan itu tentunya sangat dirasakan peserta JKN.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024