Untuk itu, kita perlu meningkatkan efisiensi daripada biaya-biaya usaha universal. Jadi cost of finance/suku bunga, cost of compliance/birokrasi dan kepastian hukum, biaya energi, logistik, tenaga kerja, dan lain-lain,

Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyatakan dunia usaha menilai kondisi global tak suportif untuk peningkatan investasi ke Indonesia.

“Kalau kita lihat memang outlook (prediksi) daripada ekonomi global yang dikeluarkan oleh IMF (International Monetary Fund), World Bank, dan lain-lain itu sudah kelihatan bahwa memang pertumbuhannya itu lebih rendah, 3,4 persen,” ujarnya dalam acara Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2024 yang dipantau secara virtual, Jakarta, Senin.

Sejumlah risiko negatif dari outlook ekonomi global tahun 2024 ialah konflik geopolitik yang menyebabkan disrupsi pasar pangan dan energi global, serta potensi goncangan inflasi tambahan, terutama di negara net importir pangan dan energi seperti Indonesia.

Selanjutnya adalah suku bunga global higher for longer yang menciptakan monetary tightening (pengetatan moneter) dan financial stress (beban finansial), serta perlambatan ekonomi di negara-negara utama global semisal Amerika Serikat, China, Uni Eropa, Jepang, Inggris, hingga Jerman.

Tantangan lainnya yaitu bencana terkait perubahan iklim seperti El-Nino, dan fragmentasi perdagangan global laiknya fenomena friendshoring (praktik untuk mengalihkan rantai pasokan ke negara sekutu atau negara yang dianggap teman dalam konsep perdagangan internasional).

“Walaupun parameter-parameter stabilitas makroekonomi Indonesia masih baik, ini (berbagai pengaruh dari kondisi global) pasti nanti juga akan ada dampaknya,” ucap Shinta.

Beberapa dampak yang berpotensi terjadi di Indonesia adalah masalah arus investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI), permintaan ekspor menurun, serta biaya logistik bertambah karena peningkatan fragmentasi perdagangan global dan pengaruh geopolitik.

Sejak kuartal II-2023, Indonesia disebut mengalami pelemahan pertumbuhan FDI dan kinerja ekspor yang menyebabkan defisit neraca berjalan.

Kondisi itu berimbas pada pelemahan nilai tukar dan inflasi barang impor, suku bunga pinjaman riil dalam negeri tak kompetitif, hingga potensi pelemahan pertumbuhan daya beli.

Angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia sebesar 6,8 juga disebut masih terlalu tinggi.

Artinya, 1 persen pertumbuhan ekonomi membutuhkan 6,8 persen kenaikan investasi.

Menurut Shinta, capaian ICOR tersebut sangat tak kompetitif jika dibandingkan negara-negara kompetitor Indonesia yang memiliki nilai lebih rendah di kisaran 4-5.

Apabila Indonesia hendak mencapai pertumbuhan ekonomi 6-7 persen, maka dibutuhkan tambahan rasio investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 41-47 persen.

Per tahun 2023, rasio investasi tanah air terhadap PDB baru menyentuh angka 29,9 persen, sehingga diperlukan optimalisasi investasi.

“Untuk itu, kita perlu meningkatkan efisiensi daripada biaya-biaya usaha universal. Jadi cost of finance/suku bunga, cost of compliance/birokrasi dan kepastian hukum, biaya energi, logistik, tenaga kerja, dan lain-lain," katanya.

Di sisi lain, Indonesia juga membutuhkan pendalaman finansial yang ditandai dengan peningkatan skala pembiayaan dan distribusi daripada pembiayaan usaha untuk sektor-sektor usaha yang saat ini masih membutuhkan pembiayaan usaha yang memadai.

Shinta melihat kebijakan hilirisasi di berbagai sektor seperti mineral, pertanian, hingga perikanan dapat mendorong realisasi investasi.

Berdasarkan data realisasi investasi 2023, hilirisasi memberikan kontribusi sebesar 26,5 persen atau Rp375,4 triliun dari total realisasi investasi.

Sektor-sektor yang berhubungan dengan energi hijau juga berpeluang menjadi tempat menanamkan modal menimbang proyeksi potensi energi hijau di Indonesia mencapai Rp593-Rp638 triliun pada tahun 2030 dengan penciptaan lapangan kerja baru (green job) 7-10 kali lipat dibanding investasi konvensional.

Dalam kesempatan tersebut, Shinta menyimpulkan bahwa ada empat tantangan reformasi struktural yang harus diatasi untuk meningkatkan investasi ke Indonesia.

Pertama adalah mengenai regulasi, perizinan, dan konsistensi kebijakan. Kemudian ialah penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (SDM), dan mendorong digitalisasi.

Dia menganggap ada tiga faktor penentu keberhasilan realisasi investasi, yakni stabilitas sosial-politik dan makro ekonomi, konsistensi dan ouput reformasi struktural, dan pimpinan terpilih memiliki dukungan serta legitimasi yang solid.

Mengacu peta jalan perekonomian susunan Apindo, Shinta menerangkan pula tentang apa yang perlu dilakukan oleh pemerintahan baru untuk mendorong lebih banyak investasi.

Mulai dari kepastian hukum serta perbaikan kelembagaan dan koordinasi, kebijakan terkait peran teknologi dan SDM untuk mendukung lompatan produktivitas, lalu optimalisasi kebijakan industri, perdagangan, investasi, dan persaingan yang sehat.

Keempat adalah adopsi ESG (Environmental, Social, and Governance) oleh bisnis dan pengembangan industri hijau, serta keberadaan infrastruktur, transisi energi, hingga tersedianya sarana dan prasarana digital.

“Ini mungkin lima hal yang akan kami terus dorong untuk bisa dapat mentransformasi ekonomi dan mendorong lebih banyak investasi,” kata Ketua Apindo.

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2024