...tidak bisa bersekolah dan tidak bisa menikah secara resmi karena memiliki agama di luar agama resmi...
Yogyakarta (ANTARA News)-Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas mengatakan Undang-Undang Administrasi Kependudukan hasil amandemen masih memiliki potensi mengikis kebhinekaan masyarakat.
"Di mana dari Undang-Undang itu, hanya memperbolehkan enam agama yang sah dicantumkan dalam kartu identitas kependudukan yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu," kata istri Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X itu di Yogyakarta, Rabu.
Dalam seminar "Tantangan dan Harapan Masa Depan Indonesia Pasca 2014" di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu, Hemas mengatakan pengesahan UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) No 23 Tahun 2006 yang kini menjadi UU No 24 Tahun 2014 itu tidak mengindahkan masukan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Menurut dia, UU yang dinilai tidak mengadopsi keberagaman di Indonesia itu, juga akan memiliki dampak serius terhadap masyarakat yang masih menganut agama kepercayaan untuk memperoleh haknya sebagai bagian dari warga negara.
"Penganut agama-agama kepercayaan asli Indonesia seperti yang ada di Kuningan, Kudus, Papua, Sulawesi Tengah dan Selatan, tidak bisa bersekolah dan tidak bisa menikah secara resmi karena memiliki agama di luar agama resmi,"katanya.
"Mereka menurut saya tidak bisa dipaksa untuk kemudian mengikuti agama lain, yang justru merupakan agama pendatang dari luar Indonesia," kata Hemas menambahkan.
Realitas itu, menurut dia, sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) yang antara lain menyebutkan negara harus dapat melindungi dan memfasilitasi seluruh warga negaranya.
Selain itu, Bhineka Tunggal Ika sebagai jati diri bangsa juga menjadi lemah untuk diimplementasikan. Semangat mayoritas-minoritas justru muncul dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat diskriminatif.
"Indonesia sekarang sudah mulai dipecah, dikikis persatuannya. Hidup rukun dan gotong royong kini menjadi terkotak-kotak,"katanya.
Menurut Hemas, hal itu menjadi ganjalan kuat bagi DPD dalam mempertahankan beberapa provinsi yang ingin menyatakan merdeka.
"Kami di daerah-daerah telah mencoba mempertahankan daerah yang ingin merdeka bukan hanya Riau, Papua, Bali tapi masih ada lagi.Apalagi regulasi diskriminatif itu masih ditambah dengan adanya dana bagi hasil pusat-daerah yang timpang,"kata dia.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014