Semarang (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Universitas Diponegoro Semarang menggagas riset mengenai potensi pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia.

"Belum ada wacana pembangunan (PLTN), tapi ini sebuah diskursus baru yang selayaknya masyarakat Indonesia mulai 'aware' bahwa kita perlu teknologi untuk bertahan," kata Anggota Dewan Pengarah BRIN Tri Mumpuni di Semarang, Minggu.

Dia mengatakan hal tersebut saat bertemu dengan peneliti Centre for Plasma Research di Fakultas Sains dan Matematika (FSM) Undip.

Pada 2060, kata dia, Indonesia berkomitmen untuk mencapai target "net zero emission" atau emisi nol bersih.

"Itu artinya kita perlu teknologi bersih. Apa yang mau dipakai kalau total semua jumlah 'renewable' (energi terbarukan) tidak mampu mencukupi kebutuhan kita di 2060?" katanya.

Menurut dia, permasalahan tersebut perlu disikapi secara realistis dan sudah selayaknya nuklir menjadi sesuatu yang dibicarakan sebagai solusi.

"Dulu kan (nuklir) dianggap tabu, saya termasuk menentang (rencana pembangunan PLTN Muria) tahun 1991. Karena saya melihat belum ada teknologi yang seaman teknologi sekarang," katanya.

Baca juga: BRIN-IAEA perkuat kapasitas instrumen dan aplikasi nuklir di Indonesia

Namun, Tri mengatakan bahwa saat ini sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki Indonesia sudah banyak dan mumpuni di bidang nuklir dibandingkan dengan puluhan tahun lalu.

"Dari jumlah SDM, kita jauh lebih siap daripada dulu, 33 tahun lalu mungkin tidak sebanyak ini SDM yang kita punya. Sekarang sudah banyak yang sekolah di luar (luar negeri), punya ilmunya. Sayang sekali kalau ilmunya tidak dimanfaatkan," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, SDM mumpuni di bidang nuklir yang dimiliki perlu dikumpulkan untuk mendiskusikan potensi pengembangan pemanfaatan energi nuklir di Indonesia.

"Sayang sekali kalau selama ini kalau ada teknologi hebat kita hanya jadi penonton. Ujung-ujungnya jadi pasar dan kita sendiri tidak punya kapasitas," kata Tri.

Ketua Centre for Plasma Research FSM Undip Muhammad Nur mengatakan bahwa Undip perguruan tinggi yang paling terdepan dalam mempelajari teknologi plasma, termasuk Plasma Tokamak untuk reaktor fusi nuklir.

"Kalau fusi (nuklir) berat, Indonesia belum sampai, dunia saja belum. Tapi kalau fisi sangat mungkin. Apalagi ada berita baru tentang fisi mikro, 'very small' hanya (berkapasitas) 1-4 MegaWatt. Sangat kecil," katanya.

Yang perlu digarisbawahi, kata dia, teknologi nuklir yang dikembangkan sekarang adalah teknologi generasi keempat yang sangat berbeda dengan di Chernobyl (Rusia) maupun Fukushima (Jepang) yang merupakan generasi pertama.

Nur menegaskan komitmen Undip untuk mendukung riset tentang pengembangan PLTN, termasuk mengumpulkan rekan-rekan periset di tim lama saat rencana pembangunan PLTN Muria dulu.

"Generasi keempat itu saya tahu bahwa limbahnya usianya pendek, usia aktifnya, kemudian (ukurannya) kecil. Kalau biasanya 800 MW, sekarang 4 MW. 200 kali lebih kecilnya, kecil sekali, dan itu bisa ditempatkan di pulau-pulau yang jauh," katanya.

Baca juga: Unand-Badan Pengawas Tenaga Nuklir kuatkan kerja sama hilirisasi riset
Baca juga: BRIN garap riset konversi pembangkit listrik batu bara menjadi nuklir

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024