Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menguji Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang mengatur pungutan negara yang bersumber dari PNBP di Mahkamah Konstitusi.
"Para pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP dan Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 UU Telekomunikasi," kata Kuasa Hukum Pradnanda Berbudy, saat membacakan permohonan dalam sidang perdana pengujian UU PNBP dan UU Telekomunikasi di Jakarta, Selasa.
Menurut Pradnanda, pasal-pasal tersebut telah membebankan pemohon berupa pungutan PNBP atas kontribusi kewajiban pelayanan universal telekomunikasi (universal service obligation/USO), Biaya Hak Hak Penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi, dan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi.
Dia mengungkapkan bahwa kesemua pasal tersebut telah mengamanatkan ke pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk dapat mengatur lebih lanjut, dimana pemerintah dapat menambah jenis dan boleh mengatur tarifnya.
Untuk mengatur ini muncul Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Komunikasi Dan Informatika dan dirubah PP nomor 76 tentang Perubahan.
Pradnanda mengungkapkan bahwa dalam peraturan ini dimana tarif diatur oleh pemerintah, namun PP tersebut tidak menyebut secara tegas berapa nominal angka yang harus dibayarkan.
"Ternyata nominal angka tarif ini diatur dalam lampiran PP, artinya tidak ada kepastian hukum, di satu sisi tarif diatur dalam UU, tapi dalam satu sisi diatur dalam lampiran, sehingga pemerintah dengan bebas menetukan tarif tanpa campur tangan DPR," katanya.
Untuk itu, pemohon meminta MK menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP dan Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 UU Telekomunikasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Sidang perdana pengujian UU PNBP dan UU Telekomunikasi ini dipimpin Ketua Majelis Panel Arief Hidayat didampingi anggota panel Patrialis Akbar dan Anwar Usman.
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengatakan permohonan pemohon lebih banyak menguraikan kerugian finansial, tidak menguraikan kerugian konstitusional yang menjadi kewenangan MK.
"Kerugian konstitusionalnya ditekankan, kalau kerugian finansial MK tidak punya wewenang," kata mantan menteri hukum dan HAM ini.
Patrialis juga menyebut pemohon yang mencantumkan beberapa PP dalam permohonannya yang juga bukan wewenang dari MK, tetapi merupakan wewenang dari Mahkamah Agung.
Hakim Konstitusi Anwar Usman menyoroti pemohon satu sebagai ketua asosiasi apakah dalam AD/ART diberi kewenangan mewakili kepentingan anggota di dalam maupun di luar negeri. "Ini harus di jelaskan," kata Anwar.
Sedangkan Wakil Ketua MK Arief Hidayat mengatakan permohonan ini kurang menguraikan secara jelas apa yang diinginkan oleh pemohon.
"Seharusnya pemohon bisa menguraikan dalam kalimat yang sederhana maksud dan tujuan pengujian ini," kata Arief.
Dia juga meminta pemohon untuk menjelaskan kerugian dari pungutan PNBP tersebut. "Pemohon harus bisa menjelaskan jika pungutan itu tinggi, yang dirugikan itu bukan saja pengusaha, tetapi masyarakat umum atau konsumen, itu jelaskan," katanya.
Untuk itu, majelis panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.
Pewarta: Joko Susilo
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014