Para pakar sejarah yang saling menyampaikan pandangan berbeda makin memperkaya perspektif atas pembahasan suatu masalah
Surabaya (ANTARA) - Sejumlah pakar sejarah berkumpul di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Sabtu untuk membahas rancangan penulisan buku "Resoloesi Djihad NU, Perang Sabil di Surabaya 1945" karya Riadi Ngasiran.

Pakar-pakar yang hadir adalah Adrian Perkasa PhD, KH Dr Ahmad Baso, Dr Zainul Milal Bizawie, Prof Peter Carey dan Ady Erlianto Setyawan ST. Dalam FGD tersebut juga dihadiri sejumlah akademisi, birokrat Pemkot Surabaya dan perwakilan NU Jawa Timur H Sholeh Hayat.

Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) Prof Achmad Jazidie mengatakan kampus menjadi bagian penting dalam menyampaikan berbagai gagasan dan pemikiran yang berbeda. Karena, dengan forum bebas, dunia akademik akan terus berkembang sesuai khitahnya.

"Para pakar sejarah yang saling menyampaikan pandangan berbeda makin memperkaya perspektif atas pembahasan suatu masalah. Dengan terus-menerus menghargai perbedaan, kita akan mampu keluar dari tempurung yang membelenggu. Bahkan, kita bisa terhindari (maaf) masturbasi pemikiran, yang hanya bisa kita nikmati sendiri," tuturnya.

Jazidie mengatakan para peneliti dan sejarawan dari kalangan Nahdliyin saat keluar dari keterkungkungan itu, agar mampu menjadi bagian dari arus umum pemikiran di negeri ini. Artinya, meletakkan pijakan berpikir objektif sesuai kaidah-kaidah ilmiah.

Prof Peter Carey menegaskan tak ada tindakan tanpa adanya komando yang jelas. Orang-orang Islam berhasil digerakkan dengan kekuatan radio oleh Bung Tomo, sehingga arah pertempuran berhasil dikomando dengan teriakan pidato radio yang bisa menggerakkan massa.

"Kebetulan kami sedang menyiapkan seri kedua dari buku Gelora Api Revolusi, yang pernah menjadi serial radio BBC bersama Colin Wild. Kami mempunyai dokumentasi wawancara dengan sejumlah tokoh yang terlibat langsung semasa Revolusi Indonesia," tambah Peter Carey, yang memfokuskan kajiannya Perang Diponegoro dan berhasil menghimpun kajian dalam tiga jilid buku berjudul "Kuasa Ramalan".

Riadi Ngasiran, melalui rancangan bukunya itu menyampaikan, lebih dari sepuluh kiai dan tokoh Nahdlatul Ulama telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Baca juga: Unusa jadi tuan rumah grand final Duta Santri Nasional 2023
Baca juga: Wali kota: Surabaya dan NU tak terpisahkan


Merupakan suatu pengakuan resmi atas perjuangan dan pengabdian para ulama pesantren itu kepada bangsa dan negara. Khususnya pada saat perjuangan kemerdekaan dan saat-saat genting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

"Sayang, Membaca buku 'Pasak Sejarah Indonesia Kekinian, Surabaya 10 Nopember 1945', diterbitkan Bagian Humas Pemkot Surabaya pada 2018, tak satu pun menyebut (tak memuat Resolusi Djihad NU) lokasi bersejarah dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu," tuturnya.

Padahal, Gedung Monumen Resolusi Djihad NU yang kini menjadi bangunan cagar budaya yang dilindungi Pemerintah Kota Surabaya. Bahkan, pada masa Wali Kota Tri Rismaharini, dalam setiap menjelang Hari Pahlawan, diadakan Sekolah Kebangsaan, yang dihadiri para siswa terpilih dari SMA-SMA terkemuka di Surabaya.

Disebutkan, nama-nama Pahlawan Nasional dari kalangan NU. Seperti KH Muhammad Hasyim Asy'ari dan KH Abdul Wahid Hasyim, keduanya dari Pesantren Tebuireng Jombang. KH Zainal Musthafa, KH Idham Chalid, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH As'ad Syamsul Arifin, KH Syam'un, KH Masjkur, dan KH Abdul Chalim Leuwimunding. Belum lagi nama Andi Mappanyukki (Sulsel) dan Usmar Ismail (tokoh perfilman dan Bapak Perfilman Indonesia, Pendiri Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia).

Apalagi, tanggal 22 Oktober telah ditetapkan sebagai Hari Santri sejak 1915, toh eksistensi Resolusi Djihad NU yang terbit pada tanggal 22 Oktober 1945 dari pertemuan para kiai wakil konsul NU se-Jawa dan Madura, eksistensi Resolusi Jihad NU masih disamarkan -- bahkan mungkin dinafikan -- dalam penulisan sejarah.

Demikian pula, Gedung kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Surabaya, Jalan Bubutan VI/2 – tempat dicetuskannya Resolusi Djihad NU itu -- telah ditetapkan pemerintah kota setempat sebagai situs cagar budaya dan berdiri Prasasti Monumen Resolusi Djihad NU sejak 2011, pun diabaikan datanya. Artinya, dinafikan perjuangan NU dan ulama, dari buku yang diterbitkan resmi oleh Pemkot Surabaya.

Pewarta: Willi Irawan
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024