Bagi generasi sekarang, menjadi tentara dengan segala atribut dan kebanggaannya, hanyalah salah satu pilihan di antara sekian profesi menarik lainnya
Jakarta (ANTARA) - Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga Presiden terpilih, saat memberikan pembekalan kepada perwira remaja lulusan Akademi TNI dan Akpol, kembali mendorong semangat patriotisme para taruna tingkat akhir, menjelang dilantik Presiden sebagai letnan dua (letda).

Dalam kegiatan yang diselenggarakan pada 12 Juli 2024 itu, Prabowo kembali mengingatkan kontribusi generasi terdahulu dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, agar generasi sekarang bisa hidup aman dan sejahtera.

Dalam pidato yang diberi judul "Perwira: Ksatria Pembela Tanah Air", Prabowo juga mengingatkan bahwa tugas nasional yang utama bagi TNI dan Polriadalah melindungi rakyat.

Bila rakyat merasa aman, maka pembangunan infrastruktur bisa terus dijalankan. Makna dari pesan Prabowo, agar anggota TNI lebih mendahulukan kesejahteraan rakyat ketimbang kesejahteraan diri pribadi.

Dalam konteks sekarang, musuh anggota TNI lebih abstrak. Bila pada masa perang kemerdekaan (1945--1949), siapa yang menjadi musuh itu sudah jelas, yakni tentara Belanda (termasuk pasukan KNIL), sementara pada masa sekarang, musuh dimaksud adalah gerakan separatis. Itu artinya masih saudara sebangsa sendiri. Ada lagi musuh lebih pelik, yakni tarikan gaya hidup hedonis dan menyanjung kekuasaan, yang tengah marak berkembang di dalam masyarakat.

Dalam konteks saat ini, setiap zaman memiliki penanda dan semangatnya sendiri. Generasi sekarang, terutama Gen Z, tentu relatif sulit diajak berimajinasi bagaimana romantika zaman perjuangan dulu (1945--1949).

Itu sebabnya pidato Prabowo memberi makna untuk mengapresiasi generasi terdahulu dalam mempertahankan kemerdekaan, mengingat kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kesejahteraan, sebagaimana pernah dikatakan Bung Karno dulu.

Bagi generasi sekarang, menjadi seorang tentara dengan segala atribut dan kebanggaannya, hanyalah salah satu pilihan di antara sekian profesi menarik lainnya, meski antrean untuk masuk Akmil atau akedemi matra lainnya tetap saja panjang.

Menjadi tentara hanyalah salah satu pilihan dalam mengabdi kepada negara dan masyarakat, kira-kira begitu pandangan generasi sekarang.

Namun pandangan tersebut tidak mengurangi kebanggaan generasi baru yang kebetulan memilih menjadi tentara sebagai panggilan hidupnya, dengan komitmen penuh dan siap menghadapi segala konsekuensinya.

Perilaku yang menonjol dari masyarakat di tanah air selama ini adalah hasrat besar memburu kekuasaan dan kesejahteraan sehingga nilai lain yang lebih esensial, seperti rasa kemanusiaan dan semangat mengabdi pada orang kecil, praktis terabaikan.

Hasrat berburu kesejahteraan itulah yang menjadikan generasi sekarang lebih tertarik pada profesi yang kira-kira merupakan jalur cepat menuju kesejahteraan, dan bisa jadi itu bukan profesi militer.

Pada titik ini semua teringat kembali pada pidato radio Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang ditujukan bagi taruna Akademi Militer Yogyakarta, di tengah operasi gerilya sekitar tahun 1949.

Jenderal Soedirman antara lain mengatakan: “Ingatlah bahwa prajurit Indonesia bukanlah tentara bayaran. Mereka bukan prajurit yang menjual tenaganya untuk memperoleh segenggam beras, dan mereka juga bukan prajurit yang mudah dipengaruhi oleh kelicikan maupun oleh keinginan akan benda-benda materi.”

Amanat Panglima Soedirman selaras dengan pidato Prabowo baru-baru ini, agar TNI ikut berkontribusi dalam melawan korupsi karena korupsi adalah musuh nomor satu negara. Konteks pidato Prabowo adalah TNI memiliki kekuatan moral untuk melawan budaya konsumtivisme, ambisi memburu jabatan, dan merosotnya nilai-nilai kemanusiaan.


11 Asas Kepemimpinan

Bila generasi baru TNI bersedia memilih jalan hidup sederhana, sejatinya hal ini bisa dibaca sebagai penemuan kembali jati diri tradisi TNI.

Sebagaimana diketahui, ada banyak doktrin dalam TNI, salah satunya adalah 11 Asas Kepemimpinan. Dalam 11 Asas Kepemimpinan ini, ada dua poin yang secara gamblang memberikan pedoman, tentang bagaimana seorang perwira harus bersikap, yakni dengan cara hidup sederhana (prasaja) dan hemat (gemi nastiti).

Pesan penting lain dari Menhan Prabowo pada calon perwira adalah soal kekuatan lembaga intelijen, yang menentukan maju tidaknya sebuah bangsa. Jadi, intelijen bukan sekadar untuk kepentingan operasi tempur.

Di bidang pertahanan dan militer, pengetahuan tentang musuh atau negara lain, termasuk kemampuan perangnya, sangat penting kita ketahui, untuk melemahkan kekuatan mereka. Sifat, metode, jenis peperangan dan konflik berubah sangat cepat, dan masih akan terus berkembang.

Semua negara mempunyai beberapa hal yang dianggap rahasia dan sensitif. Banyak negara yang masih mempunyai sistem politik dan hubungan kekuasaan yang membuat beberapa informasi sebagai rahasia negara.

Meskipun teknologi informasi telah berkembang pesat, tidak mungkin sebuah negara akan membuka semua informasi, yang mungkin negara lain ingin mengetahuinya. Di sinilah esensi pengumpulan informasi intelijen pertahanan.

Kekuatan intelijen menemukan konteksnya, ketika baru-baru ini terjadi peretasan terhadap PDN (Pusat Data Nasional), yang sempat mengacaukan pelayanan publik selama berhari-hari. Perwira remaja yang segera dilantik Presiden tersebut, termasuk Gen Z, tentu sangat familier dengan informasi digital. Tentu pengalaman peretasan PDN bisa menjadi pelajaran atau lesson learn saat mereka ditugaskan kelak sebagai perwira di seluruh penjuru Tanah Air.


Dukungan rakyat

Sesuai pesan Menhan Prabowo bahwa tugas nasional yang utama bagi TNI dan Polri adalah melindungi rakyat. Itu sebabnya dibutuhkan tentara (termasuk polisi) dengan kemampuan intelijen yang kuat.

Bila rakyat merasa aman, maka pembangunan ekonomi bisa dilanjutkan. Oleh karena itu, TNI dengan dukungan rakyat akan menjadi garda terdepan menghadapi segala jenis ancaman yang akan akan hadir di Indonesia.

Presiden Soekarno pada amanat Hari Angkatan Perang RI Tahun 1950 memberikan penegasan, bahwa “Angkatan Perang kita tidak bisa dipisahkan kedudukannya dari rakyat Indonesia, dalam pangkuan mana ia dilahirkan dan dalam pangkuan mana ia menjadi besar”.

Kedekatan dengan rakyat juga tercermin dari figur Jenderal Soedirman, yang selaku Panglima Besar ketika mengeluarkan perintah kilat (Desember 1948), yang menginstruksikan strategi militer beralih pada perang gerilya.

Artinya, TNI harus menyatu dengan rakyat yang berasal dari desa-desa, gunung-gunung, pantai, serta hutan. Di sana tempat berlindung, sekaligus pangkalan TNI mempersiapkan penyerangan lanjutan.

Rakyat dan perdesaan dikenal TNI sebagai rumah besar tempat berlindung dan memperoleh kebutuhan logistik.

Doktrin ini masih berlaku hingga kini. Itulah yang menjadikan TNI senantiasa memikirkan strategi untuk terus menjadikan desa sebagai lumbung bahan pokok, dengan memberdayakan komando teritorial guna mempersiapkan kantong logistik wilayah, sekaligus dapat membantu kesulitan ekonomi rakyat pada masa kini dan mendatang.

Ketahanan di bidang logistik suatu wilayah menjadi kunci utama dalam meraih kemenangan dalam pertempuran berlarut.

Dalam pertempuran yang biasanya memakan waktu cukup lama, seperti konflik Ukraina-Rusia, pasukan akan sangat terbantu bila mendapat dukungan logistik memadai di wilayah konflik.

TNI sudah memiliki pengalaman dalam membangun desa Sapta Marga, yang sarat dengan tanaman pangan sebagai sumber logistik di wilayah.

Budaya disiplin dan kerja keras merupakan kunci keberhasilan TNI membangun desa pangan, untuk mewujudkan lumbung pangan (food estate) yang selanjutnya akan dikelola bersama oleh pihak sipil dan militer sebagai cadangan logistik untuk pertahanan negara.

Menhan Prabowo Subianto dalam buku "Indonesia Paradoks" (2022) menegaskan, soal arti penting pelaksanaan secara konsekuen UUD 1945, utamanya Pasal 33.

Dengan langkah ini, manfaat yang akan diperoleh adalah terhindarnya distorsi garis logistik, dari produksi sampai distribusi, kepada rakyat di desa. Dalam skala mikro, bagi TNI kelancaran pasokan logistik menjadi sumber kekuatan moril prajurit dalam pertempuran.


*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.

Copyright © ANTARA 2024