Mereka bisa menangkap getaran-getaran yang ada dari kulit mereka
Yogyakarta (ANTARA) - Irama lagu "Fly Me to the Moon" menggetarkan sebuah warung bakmi yang berlokasi di salah satu gang sempit di sudut pusat Kota Yogyakarta.
Lagu yang ditulis oleh Bart Howard pada 1954 dan dipopulerkan oleh penyanyi asal Amerika Serikat, Frank Sinatra, itu barangkali tidak asing di telinga semua penggemar jaz.
Namun, malam itu terdengar lebih spesial karena selain diaransemen dengan sejumlah alat musik jaz macam konga, drum, trompet, bas gitar, dan piano, juga dipadu dengan alat musik tradisional angklung.
Saat kolaborasi itu bermula, puluhan pelanggan bakmi yang meluber hingga halaman warung berkonsep joglo itu tampak terkesiap, manggut-manggut, dan berdiri mendekat mengabadikan momen dengan gawai.
Selain indah dan enak didengar, mini-orkestra itu makin menggetarkan penonton lantaran alat musik tradisional berbahan bambu apus tersebut dimainkan oleh puluhan anak penyandang tunarungu.
Dentingan kuat tabung-tabung bambu pada angklung yang mereka goyangkan sukses mewujudkan sinkronisasi nada indah dan menyatu dengan musik jaz yang dimainkan para musikus profesional di Kota Gudeg.
Mereka adalah para siswa SLB B Karnnamanohara. Meski tidak mendengar, bocah-bocah itu terampil memainkan angklung sesuai notasi yang tepat.
Di depan mereka, sang konduktor yang tak lain guru mereka sendiri tampak bersemangat dan gesit menaikturunkan dua tangannya sebagai isyarat nada.
"Fly Me to the Moon" adalah satu dari dua lagu yang dimainkan grup Ansamble Angklung SLB B Karnnamanohara malam itu. Adapun lagu pertama berjudul "Can't Help Falling in Love" yang dipopulerkan penyanyi AS Elvis Presley.
Saat ensambel yang menghangatkan dinginnya malam Kota Yogyakarta itu berakhir, tepuk tangan serentak semua orang yang hadir terdengar bergemuruh tanpa dikomando, mulai dari pelanggan bakmi hingga para orang tua siswa yang tak berhasil membendung air mata haru.
Getaran bunyi
Momen itu adalah pengalaman perdana para siswa SLB B Karnnamanohara, Condongcatur, Depok, Kabupaten Sleman, pentas pada malam hari.
Tidak ada kewajiban ikut. Karena berlangsung malam hari, sekolah sekadar menyampaikan tawaran lewat angket kepada para wali murid, beberapa hari sebelum pentas untuk memastikan siapa saja siswa yang bersedia.
Tawaran itu pun disambut antusias para siswa, kendati tak sedikit dari mereka yang bertempat tinggal jauh dari pusat Kota Yogyakarta, termasuk beberapa berasal dari Klaten, Jawa Tengah.
Erni (42), sang konduktor, tidak dapat menutupi rasa bahagia sekaligus bangga.
Perempuan bernama lengkap Erni Tri Kurnia Sari itu tidak menyangka para siswa kesayangannya lancar memainkan repertoar lagu "Fly Me to the Moon" bersama musikus jaz hingga menghibur banyak orang. Pasalnya, tidak pernah ada latihan bersama para musikus sebelumnya.
"Saya saja baru mendengar lagu 'Fly Me to the Moon' tiga kali," ucap Erni sembari tertawa kecil.
Bermain musik adalah satu dari beberapa mata ajar yang wajib diikuti semua siswa penyandang tunarungu SLB Karnnamanohara sebagai salah satu metode mengenalkan mereka tentang bunyi.
Dari kesunyian, mereka digiring memasuki dunia bunyi di Bumi yang ragamnya amat banyak dan belum mereka kenal sebelumnya.
Materi itu disuguhkan sebagai implementasi program Pengembangan Komunikasi, Persepsi Bunyi, dan Irama (PKPBI) bagi siswa tunarungu.
Beragam alat musik macam drum, konga, serta angklung pun rutin diajarkan setiap 2 pekan sekali, termasuk mengenalkan warna musik mulai pop hingga jaz.
Kendati tak mendengar melalui telinga, para siswa sejatinya mampu mengenal dan merasakan suara atau warna nada melalui getaran.
"Mereka bisa menangkap getaran-getaran yang ada dari kulit mereka," ucap Erni yang mengampu siswa tunarungu sejak 2005 itu.
Keikhlasan hakiki
Arfa (12), siswa SLB B Karnnamanohara, malam itu kembali berkemas dan mengambil tas punggungnya untuk bersiap pulang bersama ibunya seusai pentas.
Melalui bahasa isyarat yang disampaikan kepada ibunya, Indah (40), Arfa mengaku senang bisa bermain angklung di depan umum sekaligus menuai apresiasi.
Meski tak mendengar irama indah musik yang baru saja ia mainkan bersama teman-temannya, Arfa merasa bahagia karena bisa membuat banyak orang terhibur.
"Senang dilihat orang banyak dan bisa menghibur orang lain," ucap Indah menyampaikan pengakuan anaknya.
Tak sekadar bangga, Indah meyakini semakin sering putranya pentas di hadapan umum, termasuk lewat musik, kian memompa rasa percaya diri anaknya.
Dodo (54), sang pemilik warung bakmi, pun mengaku ketiban berkah. Selain ramai pembeli, ia senang dapat memberikan ruang apresiasi bagi anak-anak penyandang tunarungu.
Selain menjajakan bakmi, warung yang ia beri nama "Maju Tak Gentar" memang saban Kamis rutin menyuguhkan pertunjukan musik jaz sekaligus mempersilakan siapa saja yang datang untuk "sinau" atau belajar musik jaz secara cuma-cuma.
Penjual bakmi yang juga musisi jaz itu pun heran pertunjukan yang digelar secara mendadak, bahkan tanpa latihan khusus, itu berbuah manis hingga mendapat respons positif dari banyak orang.
Apalagi memainkan musik jaz cenderung lebih rumit ketimbang genre pop.
Lebih dari sekadar pentas, baginya ada pelajaran amat berharga mengenai arti keikhlasan hakiki yang dituai dari penampilan malam itu.
Jika para musikus umumnya puas sembari menikmati setiap musik yang dimainkan, para siswa itu merasa gembira cukup dengan melihat orang terhibur lewat permainan musik yang tidak mereka dengar sendiri. "Inilah makna ikhlas yang sebenarnya," ucap dia.
Dodo yang telah malang melintang di dunia musik sejak 1990 itu pun bertekad memberikan ruang ekspresi yang lebih luas bagi anak-anak penyandang disabilitas di warung bakminya.
Keterbatasan fisik maupun indera memang bukan tembok penghalang untuk terus mengukir prestasi, termasuk berkiprah lebih di dunia musik.
Ludwig van Beethoven, komponis kenamaan asal Jerman, setidaknya telah membuktikan bahwa kehilangan indera pendengaran tak menyurutkan langkahnya mencipta karya-karya besar nan mendunia.
Begitu pula anak-anak tunarungu itu.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024