Jika ada perjanjian arbitrase maka penyelesaian hukumnya harus melalui arbitrase,"
Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan pengadilan umum tidak berwenang menyidangkan perkara yang telah ditetapkan dalam perjanjian penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
"Jika ada perjanjian arbitrase maka penyelesaian hukumnya harus melalui arbitrase," kata Hikmahanto saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Hikmahanto mengungkapkan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase menyebutkan suatu sengketa sudah diatur klausul arbitrase maka hakim wajib menolak sengketa tersebut untuk diselesaikan di pengadilan umum.
Hikmahanto menegaskan pengadilan umum tidak berwenang dan harus menolak kesepakatan sengketa arbitrase dengan mempertimbangkan lima kriteria.
Kriteria pertama, yaitu apakah di antara para pihak terdapat suatu perjanjian sengketa yang dibuat.
Kedua, apakah dalam gugatan perbuatan melawan hukum atau PMH ada pasal dalam perjanjian yang dirujuk, kriteria ketiga ialah apakah obyek yang dibawa ke pengadilan atas dasar PMH sama dengan apa yang diperjanjikan.
Kriteria keempat adalah apakah penggugat utama dan tergugat utama yang bersengketa di Pengadilan sama dengan yang ada dalam perjanjian.
Terakhir apakah bedasarkan rasa keadilan hakim melihat pada fakta tidak ada kesan upaya untuk mebawa sengketa dari arbitrase ke pengadilan.
Hikmahanto sempat menjadi saksi ahli terkait kasus kasus gugatan PT Ciputra Surya Tbk (Ciputra) kepada PT Taman Dayu atas tuduhan perbuatan melawan hukum terkait penjualan tanah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kasus perbuatan melawan hukum berawal saat Taman Dayu melaksanakan suatu perjanjian pembangunan bersama (Perjanjian) yang berjangka 20 tahun dengan PT Ciputra pada Desember 2004.
Perjanjian membagi Properti menjadi tiga kategori yaitu area terbangun, area semi terbangun dan area belum terbangun (area ini dikecualikan secara tertulis dalam Perjanjian).
Perjanjian menyebutkan BANI sebagai lembaga yang terpilih untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi.
Berdasarkan perjanjian para pihak tidak dapat membawa sengketa mereka ke pengadilan.
Pada Desember 2012, Taman Dayu menjual lahan seluas 436.320 m2 (lahan terbeli) yang berlokasi di lahan belum terbangun dalam properti ke PT Lim Seng Tee (LST), suatu perseroan yang berafiliasi dengan keluarga Sampoerna.
Kemudian pada 18 November 2013, Taman Dayu mendapatkan salinan gugatan yang dilakukan oleh Ciputra melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pihak Ciputra menuduh Taman Dayu melakukan perbuatan melawan hukum terkait penjualan tanah persetujuan.
Penggugat mengklaim total kerugian senilai miliaran rupiah, yang terdiri dari kerugian materiil dan moral.
Selanjutnya, Taman Dayu memasukkan sanggahan ke pengadilan karena penanganan sengketa harus dilakukan di arbitrase pada 18 Februari 2014.
(T014/T007)
Pewarta: Taufik Ridwan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014