Representasi yang sebenarnya harus tercermin dalam posisi-posisi strategis seperti ketua fraksi atau pemimpin AKD.
Jakarta (ANTARA) - Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (UI) Sri Budi Eko Wardani menekankan pentingnya menggerakkan organisasi seperti Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) untuk lebih aktif dalam mendorong agenda perempuan.

Hal ini menyusul peningkatan jumlah perempuan yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024. Akan tetapi, keberhasilan mereka dalam meraih kursi legislatif justru menurun.

"Kita perlu mendorong KPPRI agar lebih vokal dan strategis dalam memajukan kebijakan yang mendukung hak-hak perempuan. Wewenang kaukus juga perlu diperkuat, begitu pula dukungan untuk kerja-kerja kaukus," kata Dani dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (25/7).

Menurut dia, permasalahan representasi perempuan ini bukan hanya tentang seberapa banyak perempuan yang ada di parlemen, melainkan lebih pada seberapa besar pengaruh dan peran substantif yang mereka miliki dalam pengambilan keputusan.

"Representasi yang sebenarnya harus tercermin dalam posisi-posisi strategis seperti ketua fraksi atau pemimpin AKD," tambahnya.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Diah Nurwitasari menyampaikan beberapa tantangan yang dihadapi perempuan di partai politik.

Tantangan itu, antara lain, menghadapi popularitas kandidat lain yang sering kali lebih diutamakan, pragmatisme masyarakat yang cenderung memilih kandidat berdasarkan popularitas dan kekuatan ekonomi daripada kapabilitas, serta kendala internal yang sering kali menghambat partisipasi aktif perempuan dalam politik.

Baca juga: Titi: Belum tercapai keterwakilan perempuan karena banyak faktor
Baca juga: MK minta PSU di Gorontalo karena keterwakilan perempuan tak terpenuhi


Sebagai perempuan, kata Diah, sering kali harus berhadapan dengan popularitas kandidat lain yang lebih dikenal masyarakat, ditambah lagi pragmatisme masyarakat juga menjadi tantangan besar.

"Mereka lebih memilih kandidat yang populer ketimbang yang benar-benar memiliki kapabilitas. Belum lagi dampak dari politik uang. Selain itu, ada juga kendala internal dalam partai yang sering kali menghambat partisipasi aktif perempuan," ujar Diah.

Selain itu, dia menyoroti pentingnya dukungan struktural dan kebijakan afirmatif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, termasuk ketegasan soal persyaratan afirmasi 30 persen di setiap dapil yang harus dipenuhi oleh setiap partai politik peserta pemilu.

Wakil rakyat ini menekankan bahwa tanpa adanya kebijakan yang mendukung, perempuan akan terus menghadapi hambatan-hambatan yang sulit diatasi sendirian.

"Perjuangan soal isu gender dan representasi dan kiprah perempuan dalam politik, termasuk di parlemen, bukan hanya pekerjaan perempuan sendiri, melainkan semua pihak, termasuk fraksi, partai politik, dan anggota legislatif lainnya," jelasnya.

Meskipun tantangan yang dihadapi perempuan di partai politik cukup berat, menurut dia, dengan kerja sama dan komitmen dari berbagai pihak, perubahan yang lebih inklusif dan setara dapat dicapai.

Diah mengajak semua pihak untuk bersama-sama mendorong kebijakan yang lebih adil dan memberikan ruang yang lebih besar bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik sehingga dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan bangsa.

Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024