Manado, 25 Agustus 2006 (ANTARA) - Dua saksi tambahan yang dihadirkan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum, bukannya memperkuat dakwaan tetapi malah semakin menunjukkan lemahnya posisi JPU dan betapa tidak berdasarnya dakwaan mereka. Hal ini terungkap pada saat sidang mendengarkan dua orang saksi tambahan terrsebut, yakni Prof. Yayat Dahiyat (anggota tim Peer Review KLH 2004) dan Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H (dosen di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan) dalam lanjutan sidang perkara pidana PTNMR dan Presiden Direktur Richard B. Ness pada hari ini di Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara. Sebagai salah satu anggota tim Peer Review, Yayat Dahiyat ternyata hanya mengkaji berdasarkan berkas-berkas laporan, bukan fakta-fakta. Saksi tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhan Jaksa tentang penurunan jumlah species ikan (dari 59 menjadi 13 species, menurut laporan WALHI) di Teluk Buyat. Pada kenyataannya, pada beberapa kesaksian sidang-sidang sebelumnya seperti disampaikan oleh saksi Recky Telleng (saksi dari JPU) dan DR. Lalamentik, juga laporan rutin RKL/ RPL tidak terjadi penurunan tersebut. Temuan yang sama baru-baru ini dimuat juga dalam artikel "Surga Karang Kubah", majalah National Geographic Indonesia edisi Agustus 2006. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Sam Ratulangi, pada September 2005, yang dimuat oleh majalah ilmiah terkemuka ini terdapat terdapat 84 species ikan di Teluk Buyat. Selain itu, Saksi ahli JPU ini tidak dapat membantah bukti-bukti yang selama ini diajukan oleh pihak PTNMR. Ini terlihat ketika para saksi ini dihadapkan dengan banyaknya kejanggalan dan inkonsistensi dalam Laporan Penelitian KLH tahun 2004. Berbagai data, angka, rujukan, dan kesimpulan dalam laporan tersebut tidak cocok satu dengan lainnya. Salah satu referensi yang dipakai dalam laporan tersebut misalnya adalah ASEAN Marine Water Quality Criteria 2004, yaitu guideline negara-negara ASEAN untuk baku mutu kualitas air laut. Dalam laporan KLH dinyatakan bahwa konsentrasi logam arsen dan merkuri dari tailing PTNMR adalah termasuk sedimen yang terkontaminasi. Namun dalam kenyataannya, ASEAN Marine Water Quality Criteria 2004 sama sekali tidak menetapkan tentang standarisasi untuk sedimen. Jadi rujukan yang dipakai dalam laporan KLH tersebut adalah mengada-ada dan tidak benar! Saksi Ahli kedua, Asep Warlan Yusuf mencoba mengangkat masalah perijinan PTNMR ditinjau dari hukum administrasi negara. Namun pengertian saksi ahli menyangkut surat ijin yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup No. B/1456/ BAPEDAL/07/2000 tersebut malah bertentangan dengan kesaksian saksi fakta JPU sebelumnya, Sonny Keraf yang menyatakan bahwa surat tersebut adalah merupakan surat ijin dari kantornya untuk mengijinkan PTNMR menempatkan tailingnya di dasar laut. Salah satu dakwaan yang diajukan oleh JPU pada PTNMR dan Richard B. Ness disebutkan bahwa PTNMR telah melampaui standard baku mutu yang tercantum dalam surat No. B/1456/BAPEDAl/07/2000. Menjawab mengenai hal ini, Asep membenarkan pertanyaan tim pembela bahwa dakwaan JPU tersebut tidak berdasar, karena dakwaan tersebut dikaitkan pada hukum masa depan atau hukum yang belum ada. "Sekali lagi kami sampaikan bahwa tidak ada dasar sama sekali untuk mendakwa Richard Ness maupun PTNMR karena tidak ada pelanggaran pidana di sini," ujar Luhut MP. Pangaribuan, ketua tim Penasehat Hukum PTNMR. "Bahkan keterangan saksi tambahan pihak JPU pada hari ini terlihat sekali bahwa dakwaan mereka tidak berdasarkan hukum," lanjut Luhut M. Pangaribuan. "Dari persidangan hari ini jelas terlihat bahwa Laporan Tim Kementerian Lingkungan Hidup 2004 tidak memiliki kredibilitas dan oleh karenanya perlu dicabut sebagai barang bukti JPU." ujar Richard B Ness, Presiden Direktur PTNMR. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi website kami www.BuyatBayFacts.com Atau silakan hubungi Rubi W. Purnomo, Manajer Humas Newmont Telp: 0815 183 7203 atau email: rubi.purnomo@newmont.com

Copyright © ANTARA 2006