Jakarta (ANTARA) - Mengenakan pakaian adat beberapa suku di Indonesia, lima anak berdiri tegap di hadapan Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana. Mereka dengan lantang menyampaikan harapan dan kekhawatirannya  sebagai penerus bangsa dalam peringatan Hari Anak Nasional 2024.

Beberapa isu yang mereka pekikkan di antaranya pemenuhan hak sipil anak, pencegahan perkawinan anak usia dini, pencegahan anak menjadi perokok aktif dan pasif, pemerataan fasilitas dan kualitas pendidikan serta upaya menekan kekerasan dan eksploitasi anak.

Kelima isu itu, yang disuarakan lewat Suara Anak Indonesia oleh perwakilan Forum Anak Nasional, adalah beberapa di antara topik yang menjadi kekhawatiran anak-anak Indonesia, termasuk Nabiel Musyarraf dari Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Perkawinan usia anak merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian pelajar berusia 16 tahun itu, tidak lain karena dia menjadi saksi mata dari fenomena tersebut ketika salah seorang temannya harus berhenti sekolah karena menikah dini.

"Kenapa saya bilang sangat genting? Karena beberapa teman saya sendiri di sekolah saya, sudah ada yang seperti itu," ujar Nabiel.

Pencegahan perkawinan usia anak itu  bukanlah perkara mudah, terutama untuk daerahnya, karena pernikahan tersebut kebanyakan sudah memiliki izin dari orang tua dan telah mendapatkan dispensasi perkawinan anak dari lembaga terkait.

Pernikahan anak sendiri dilakukan ketika seseorang belum berusia 18 tahun, yang masuk dalam kategori anak menurut UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Meski demikian, kata Nabiel, tren tersebut jika tetap dibiarkan dan tidak dilakukan pencegahan akan berdampak luas terhadap anak-anak. Tidak hanya berpengaruh membuat anak putus sekolah karena menikah, tapi juga dapat mengakibatkan penelantaran anak dan stunting ke depannya.

Pencegahan pernikahan usia anak menurutnya perlu dilakukan dari akar rumput, dari tingkat desa yang paling bawah. Diperlukan juga pembentukan satuan tugas untuk pencegahan perkawinan usia anak terutama di wilayah desa-desa yang kerap ditemukan kasus tersebut.

Semua itu perlu dilakukan, agar tidak ada lagi anak-anak yang tidak memiliki kesempatan pendidikan tinggi karena dinikahkan sebelum mencapai usia matang,. Padahal, kesiapan orang tua berperan besar dalam membesarkan anak-anak yang sehat dan cerdas.

Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), angka perkawinan anak telah mengalami penurunan dengan pada 2023 mencapai 6,92 persen. Jumlah itu turun dari 8,06 persen pada 2022 dan 9,23 persen pada 2021.

Selain itu, Nabiel juga memiliki kekhawatiran mengenai akses merata terhadap pendidikan karena masih ada daerah yang masuk kategori tertinggal di kabupatennya. Salah satu faktor yang memelihara terjadinya kondisi itu adalah masih belum meratanya fasilitas dan kualitas pendidikan dibandingkan provinsi lain.

Realita yang dilihatnya juga banyak anak sebayanya akhirnya tidak melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi, membuat mereka kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang merupakan haknya sebagai seorang anak.

Sedangkan Naura Athaya Sharif yang juga bagian dari Forum Anak Nasional dan hadir dalam Peringatan Hari Anak Nasional 2024 di Papua, mengatakan diskusi yang dilakukan anak-anak anggota forum tersebut dari tingkat desa sampai provinsi, menemukan masih adanya masalah kekerasan dan eksploitasi kepada anak.

Pelajar asal Malang, Jawa Timur, itu mengatakan bahwa kekhawatirannya tidak hanya mengenai kekerasan dan eksploitasi secara fisik, tapi juga kekerasan dan eksploitasi seksual yang dilakukan secara daring kepada anak-anak, atau dikenal juga dengan istilah online child sexual exploitation and abuse (OCSEA).

Bukan hanya isu yang digaungkan dalam forum-forum diskusi, Athaya melihat dengan mata kepala sendiri dampak dari kasus pelecehan dialami seorang temannya yang mencoba bunuh diri akibat kejadian tersebut.

Dia berpendapat perlunya intervensi dari orang tua sebagai tindakan pencegahan, memastikan interaksi para anak mereka di jagat maya terutama media sosial. Selain juga penanganan serius dari pemerintah jika muncul kasus sejenis, karena dampak kekerasan dan eksploitasi anak tidak hanya terhadap kesehatan fisik tapi juga mental mereka.


Mendengarkan anak

Mendengarkan suara anak-anak sebagai generasi penerus bangsa menjadi langkah penting yang perlu dilakukan oleh orang dewasa, termasuk para pemangku kepentingan di pemerintahan.

Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengatakan, sama halnya dengan orang dewasa, peran anak juga ikut menentukan masa depan yang terbaik terutama untuk anak-anak, terutama demi mencapai masa depan yang bebas dari diskriminasi,
​terdapat pemenuhan hak anak dan terlindungi dari kekerasan.

 Hal itu dilakukan untuk mewujudkan "Anak Terlindungi, Indonesia Maju" yang merupakan tema Hari Anak Nasional 2024.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar mengemukakan,  Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli, dilahirkan untuk mengingatkan bahwa di antara masyarakat yang majemuk ini terdapat mereka yang masih berusia anak-anak.

"Anak itu mempunyai hak hidup, hak tumbuh kembang dan mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Itu kata konstitusi, undang-undang kita sudah menegaskan seperti itu," kata Nahar.

Suara Anak Indonesia perlu didengar berbagai pihak untuk memastikan diwujudkan upaya bersama pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua memenuhi hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak yang menjamin pemenuhan dalam bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, kesehatan dan budaya.

Meski terjadi perbaikan, namun tidak bisa dibantah anak masih menjadi korban kekerasan dan eksploitasi. Survei Pengalaman Hidup Anak dan Remaja Tahun 2021 yang dilakukan Kementerian PPPA dan Badan Pusat Statistik menemukan 2 dari 10 anak laki-laki usia 13-17 tahun mengalami kekerasan dalam bentuk apapun dalam 12 bulan terakhir

Survei yang sama menemukan bahwa 3 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun mengalami kekerasan dalam bentuk apapun dalam 12 bulan terakhir.

Untuk itu, pemerintah terus menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mengenai kekerasan dan eksploitasi anak, termasuk mendorong pentingnya upaya melindungi anak ketika mendengar dan melihat kekerasan dan masalah anak lainnya.

Ketika melihat hal tersebut, Nahar meminta masyarakat melaporkannya kepada pihak berwajib dan melakukan pendampingan. Kementerian PPPA sendiri mendorong semakin banyak orang yang melakukan pelaporan ketika melihat kejadian kekerasan kepada anak, untuk memastikan adanya intervensi.

Sosialisasi peningkatan kesadaran masyarakat itu dilakukan ketika menghadapi kondisi yang berbeda saat ini, di mana potensi kekerasan dan eksploitasi tidak hanya ada di dunia nyata tapi juga lewat internet.

Dia memastikan beragam upaya terus dilakukan oleh pemerintah demi mengimbangi situasi yang berpotensi menjadi tantangan untuk menekan dan menghapus beragam ancaman terhadap anak Indonesia.

Kesadaran bersama diperlukan demi mewujudkan perlindungan anak.  Mendengarkan suara mereka sangat penting untuk memastikan anak Indonesia terlindungi sebagai masa depan bangsa.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024