Jakarta (ANTARA News) - Gemerincing bola-bola besi mengeluarkan bebunyian bernotasi nada berirama mengajak para penikmat jazz Samba malam itu menari untuk memuliakan ciptaan Ilahi dari energi puncak-puncak gunung dan rerimbunan kawasan hutan Brasil.


Kerja bareng musisi Negeri Samba, Thiagu Gentil dan Robertinho Silva, pada perhelatan Jakarta International Java Jazz Festival 2014 di Kemayoran Jumat malam itu meninggalkan kesan mendalam pada sanubari ratusan penonton yang menghadirinya guna mendaki sebuah horison pengalaman dari sebuah tarian sarat gembira.


Thiagu Gentil dengan gitar elektriknya sesekali memamerkan gaya eksperimental memukul-mukul senar gitarnya dengan sebatang kayu kecil. Bunyi yang dihasilkan oopla...menghentak dan mengajak orang menari. Bebunyian gitar yang dimainkan Gentil itu diperkaya dengan suara dari tetabuhan yang dipukul Robertinho.


Mereka berdua menyapa dan mengajak penonton memasuki rimbun hutan dan mencebur ke segara notasi Samba bertekstur lekas-lekas karena denting suara gitar Gentil menghela nurani kepada pengakuan bahwa negeri Samba menyimpan sejuta pesona gembira ala pantai Copacabana.


Lagu demi lagu mengalun, Gentil dan Silva pada sesi tembang kelima kembali kepada saripati jazz yang hendak meraih bara ekspresi bebas luas tanpa batas.

Keduanya menggunakan piring dan sendok untuk menghasilkan bebunyian, saling berdialog lewat denting bunyi piring.


Ya, ekspresi tanpa pagar, karena keduanya menawarkan dialog bahwa musik jazz melibas batas negara, bahasa, dan sekat yang merintanginya. Mereka menyumblim apa yang dirasakan penonton saat itu, bahwa telegram negeri Samba menyambut dengan hati sukacita pecinta jazz negeri ini.


Pesona jazz Brasil itu menyibak wacana makna bahwa pengakuan diri tidak perlu dihembus-hembuskan apalagi dipamer-pamerkan kepada khalayak, meski masyarakat negeri ini sedang mencari horison makna diri.


Kedua musisi jazz Samba itu membetot horison pemaknaan bahwa berfoto bergaya selfi di depan papan iklan bertuliskan Jakarta International Java Jazz Festival 2014 di pintu masuk bukan hal memalukan apalagi memilukan.


Simak pernyataan penyelenggara Java Jazz Festival 2014, Peter Gonta berikut, "Malam ini, selama tiga hari, kita hadirkan jazz beraroma Brasil untuk memenuhi dahaga pecinta jazz tanah air."


Ya, masing-masing kita menghadiri sebuah dahaga akan nada-nada menghentak serba ritmis membuai kisi-kisi hati yang selalu berbisik bahwa jazz Samba dan berfoto selfi setali tiga uang karena sama-sama menawarkan horison diri.


Cermati betul, ketrampilan jari-jari dari duet musisi jazz Brasil itu, memetik gitar dan menabuh gendang. Keduanya mengafirmasi bahwa berfoto bergaya selfi pun oke-oke saja karena mengklaim dirinya benar sendiri itu artinya memutar balik jarum jam masa,


"Eh kamu, pipinya kempot sedikit, mulut dimonyongin," kata gadis berusia belasan kepada rekannya sebagai aba-aba agar posenya ngepas benar bergaya selfi.


Ah, berfoto selfi dulu sebelum menikmati manja demi manja nada jazz mancanegara karena yang diperlukan sekarang dinamisme bergerak, bukan dinamisme kata pepesan kosong.


Apa kelirunya berfoto bergaya selfi, yang menurut orang yang berumah di angin di bidang psikologi, menandakan kekosongan jati diri dan wujud ketidakpercayaan diri.


Mereka yang masih duduk di bangku kuliah, silakan habis-habisan menimba nada-nada jazz selama tiga hari untuk membekali diri bahwa seni mengobati di tengah rium mantra Tahun Politik yang cenderung amburadul, bahkan tanpa bentuk alias amorf.


Mereka yang masih berseragam baju putih celana panjang atau rok abu-abu, silakan membasuh diri dengan rumus matematika bahwa dua ditambah dua hasilnya empat, sampai manusia tidak ada di bumi sekali pun.


Mereka yang masih berkutat dengan lembar demi lembar pekerjaan di meja kantor, tetaplah bertahan karena matahari memancarkan sinar terang bagi mereka yang menghidupi kemerdekaan berpikir dan berpendapat.

Itulah rujukan jazz dari duo Brasil yang malam itu hendak menyambut gembira setiap mereka yang percaya akan denting nada kehidupan, tetabuhan nada gendang kehidupan.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014