Jakarta (ANTARA News) - Teater Koma mempersembahkan lakon terbaru "Demonstran", dongeng politik yang kurang lebih mencerminkan kehidupan masyarakat Indonesia masa kini.
"Demonstran" berkisah tentang Topan, seorang mantan aktivis yang berhasil menggulingkan penguasa dua dekade silam. Perjuangannya selalu diingat dan namanya selalu dipuja meski ia sudah berubah menjadi "hanya pedagang yang mencari untung".
Meskipun penguasa berhasil ditumbangkan dua puluh tahun lalu, keadaan tidaklah membaik. Korupsi masih merajalela dan wakil rakyat mengusung kepentingan partai masing-masing. Padahal para pejabat itu adalah orang-orang yang dahulu juga menjadi demonstran dan berjuang bersama Topan. Topan didesak dari berbagai arah.
Tiga pengikutnya sejak masa aktivis, Niken, Wiluta dan Jiran, turut mengajak Topan kembali turun ke jalan demi berunjuk rasa menuntut penyelesaian masalah negara ini. Topan mengelak dan berkilah dari desakan itu. Dia beralasan banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah, unjuk rasa bukanlah satu-satunya solusi. Lagipula, masalah di masa silam dengan masa kini berbeda. Dia mempertanyakan tujuan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa saat ini. Terlalu banyak masalah yang ingin diselesaikan, sementara dulu tujuannya hanya satu: menggulingkan penguasa. Topan juga merasa tidak tahu siapa sebenarnya yang mereka bela. Rakyat sejati. Tapi siapakah rakyat sejati?
Di sisi lain, Topan semakin jengah dengan segala pemujaan yang ditujukan padanya. Termasuk oleh pejabat T yang akrab dengan Bunga, istri Topan. Si pejabat yang berniat menjadi presiden pun memanfaatkan ketenaran Topan sebagai strategi politik. Topan diabadikan dalam bentuk patung megah, sama seperti patung lainnya yang diletakkan di jalan-jalan strategis Jakarta. Tidak peduli dengan protes lemah sang model patung, pejabat T tetap berkoar-koar di depan publik.
"Blaburd, blubard, blaburd, blubard."
Niken, Wilutan dan Jiran mendadak kehilangan kuasa atas barisan demonstran yang berada di bawah komando mereka. Tiba-tiba datang seorang pemimpin baru, Bujok yang merupakan kaki tangan pejabat T. Topan akhirnya turun ke jalan karena dia tidak ingin demonstrasi yang dipimpin Bujok melenceng dari tujuan mulia membela kepentingan rakyat. Seperti kata slogan yang menginspirasi lakon ini, "sulit sekali menjadi baik", sang legenda demonstran dijadikan tumbal demonstrasi.
Nano Riantiarno sang sutradara lakon menulis naskah "Demonstran" sejak 1989 dan baru dipentaskan tahun ini. Dia mengatakan tidak ada unsur kesengajaan dalam pemilihan waktu pementasan yang bertepatan di tahun politik. Semua adalah kebetulan karena lakon ini memang siap dipentaskan saat ini.
Meski dikemas dengan nuansa dongeng, "Demonstran" banyak menyentil kisah-kisah politik yang terjadi di Indonesia lewat dialog para pemain. Selama 180 menit, penonton tidak hanya diajak serius melihat secuplik gambaran kehidupan politik dalam "Demonstran" yang sedikit banyak mirip dengan yang terjadi di tanah air, tetapi juga selipan unsur humor yang menyegarkan pentas ini.
"Demonstran" didukung oleh para pemain seperti Ratna Riantiarno, Sari Madjid Prianggoro, Budi Ros, Cornelia Agatha, Subarkah Hadisarjana, Rita Matu Mona, Emmanuel Handoyo, Alex Fatahillah, Daisy Lantang, Anneke Sihombing, Adri Prasetyo, dan Andhini Puteri.
Dalam menggarap "Demonstran", Nano dibantu Ohan Adiputra sebagai co-sutradara. Musik yang bervariasi mulai dari tema patriot hingga dangdut dikemas oleh Idrus Madani sebagai penata musik dan Fero A. Stefanus sebagai penata aransemen musik.
Tata rias dan busana para pemain yang digarap Sena Sukarya bersama Rima Ananda terlihat memukau, terutama para wakil rakyat yang berpenampilan nyentrik, mirip dengan tingkah laku mereka yang ajaib. Taufan S. Chandranegara bertanggung jawab soal skenografi dan penata cahaya, serta Ratna Ully sebagai penata gerak.
"Demonstran" dipentaskan selama 15 hari sejak tanggal 1-15 Maret 2014 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, dimulai setiap pukul 19.30 (Selasa-Sabtu), dan pukul 13.30 setiap hari Minggu. Tiket dijual dengan kisaran harga Rp75.000-Rp300.000 yang dapat dibeli online di blibli.com.
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014