Jakarta (ANTARA) -
Pertanyaan tentang apakah wanita yang sedang haid boleh membaca Surat Yasin menjadi topik perbincangan yang ramai di kalangan masyarakat Muslim.

Sebelum membahas topik ini lebih lanjut, penting untuk diketahui bahwa Surat Yasin, merupakan surat yang dikenal sebagai "jantung Al-Qur'an," sering dibaca untuk memperoleh berkah dan memohon pertolongan Allah SWT.
 
Lalu, bolehkah wanita yang sedang haid membaca Surat Yasin? Berikut penjelasannya.
 
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber resmi serta pandangan ulama dan ahli fiqih, wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk membaca Surat Yasin. Meskipun dalam kondisi haid, wanita tetap diperkenankan untuk berdoa dan membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
 
Pendapat ini berlandaskan pada pemahaman bahwa Surat Yasin, seperti surat-surat lain dalam Al-Qur'an, merupakan bagian dari ibadah yang bisa dilakukan dengan niat baik, tanpa terikat pada status kebersihan ritual.
 
Namun, beberapa ulama dan ahli fiqih menyatakan bahwa dalam agama Islam, wanita yang sedang haid atau nifas dilarang melaksanakan shalat dan puasa. Selain itu, mereka juga tidak diperbolehkan memegang atau menyentuh serta membaca Al-Qur'an.

Lalu, mana yang benar? Apakah wanita haid diperbolehkan membaca Al-Qur'an? Berikut penjelasan menurut 4 mazhab besar dalam Islam.
 
1. Mazhab Imam Hanafi

Secara umum, Mazhab Imam Hanafi melarang wanita yang sedang haid membaca Al-Qur'an. Namun, terdapat pengecualian dalam kondisi tertentu, seperti membaca Al-Qur'an dengan niat hanya berdzikir saja untuk memuji Allah SWT atau hanya membaca potongan-potongan ayat.

Hal tersebut tidak menjadi masalah jika hanya membaca mufradat (kosa kata) atau membacanya dengan niat berdzikir serta memuji Allah SWT tanpa berniat membaca Al-Qur'an.

Kebolehan itu berlaku untuk ayat-ayat yang bernuansa doa. Sebaliknya, jika ayat tersebut tidak mengandung unsur doa, seperti Surah Al-Masad, maka membaca ayat tersebut adalah haram.
 
2. Mazhab Imam Maliki

Berbeda dengan Mazhab Imam Hanafi, Mazhab Imam Maliki memperbolehkan wanita yang sedang haid untuk membaca Al-Qur'an, terutama bagi mereka yang sedang menghafal Al-Qur'an atau ingin menjaga hafalannya agar tetap terjaga.
 
Namun jika telah selesai masa haidnya maka haram baginya untuk membaca al-Quran sampai dia mensucikan diri dengan mandi janabah
 
Pendapat inilah yang mu’tamad dalam Mazhab Maliki di tengah adanya pendapat lemah yang membolehkannya untuk membaca al-Quran dengan Syarat tidak dalam keadaan junub sebelum masa haidnya datang.
 
3. Mazhab Imam Syafii

Berbeda dengan mazhab-mazhab lain, Mazhab Imam Syafi'i memiliki aturan ketat mengenai hukum membaca Al-Qur'an bagi wanita yang sedang haid.
 
Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu menyatakan bahwa haram bagi wanita haid untuk membaca Al-Qur'an. Beliau berpendapat bahwa masa haid yang singkat tidak akan menyebabkan seseorang lupa hafalan Al-Qur'an mereka.
 
Aturan ini bertujuan untuk meningkatkan penghormatan dan pengagungan terhadap Al-Qur'an. Namun, dibolehkan membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang bernuansa dzikir dan doa dengan syarat tidak berniat membaca Al-Qur'an.
 
Selain itu, membaca Al-Qur'an dalam hati tanpa menggerakkan bibir atau dengan menggerakkan bibir tanpa suara juga diperbolehkan. Begitu pula, membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang telah dinasakh juga diperbolehkan.
 
4. Mazhab Imam Hanbali
 
Dalam mazhab ini, wanita yang sedang haid diharamkan membaca Al-Qur'an, baik satu ayat atau lebih. Namun, membaca potongan singkat dari satu ayat diperbolehkan, asalkan potongan tersebut tidak panjang.
 
Mengulang potongan ayat juga diperbolehkan, karena membaca sebagian dari satu ayat tidak menunjukkan kemu'jizatan Al-Qur'an.
 
Diperbolehkan membaca ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara mengeja kata per kata, merenungkan maknanya, atau menggerakkan bibir tanpa mengeluarkan suara yang jelas.
 
Hal ini juga diperbolehkan membaca sebagian ayat secara berturut-turut atau membaca beberapa ayat dengan jeda yang lama.
 
Diperbolehkan juga membaca ayat-ayat yang bernuansa dzikir atau membaca Al-Qur'an jika khawatir kehilangan hafalan, bahkan dalam kondisi tersebut menjadi wajib.
 
Demikian inilah penjelasan dari 4 mazhab besar dalam Islam yang telah dirangkum secara resmi sesuai dengan kaidah fiqih yang berlaku.
 
Namun, penting untuk diingat bahwa setiap individu bisa memiliki pandangan yang berbeda-beda tergantung pada mazhab dan interpretasi fiqih yang mereka ikuti.
 
Untuk kejelasan lebih lanjut, disarankan agar individu berkonsultasi dengan ulama atau tokoh agama setempat yang memahami konteks dan situasi tersebut. Semoga informasi ini bermanfaat dan membantu dalam memahami tata cara ibadah yang sesuai. Wallahu A’lam Bishshawab.
 

Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024