Pemahaman etika lingkungan semakin mendorong pengelolaan hutan produksi pada kelestarian ekonomi, sosial, dan lingkungan
Jakarta (ANTARA) - Pemanfaatan potensi kearifan lokal dan penanganan secara baik aspek risiko lingkungan dinilai merupakan syarat penting yang perlu dipenuhi demi keberlanjutan pengelolaan hutan produksi saat ini.
Ketua Komite Humas dan Kerja Sama Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Sugijanto Soewadi menyatakan hutan produksi ketika dikelola melalui platform sustainability forest secara konsisten dan akuntabel, memiliki peran dan kontribusi besar dari aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial.
"Pengelolaan hutan produksi berperan dalam membuka akses pembangunan wilayah terisolir, mendorong tumbuhnya kesejahteraan dan usaha masyarakat, serta menjawab berbagai isu sosial dan perubahan iklim," katanya saat "Environmental Talk Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI)" di Jakarta, Rabu.
Pada masa lalu, tambahnya, pengelolaan hutan produksi memang masih eksploitatif dan ekstraktif, namun sejak 1990-an pengelolaan hutan produksi di Indonesia mengarah pada kelestarian hutan.
"Pemahaman etika lingkungan semakin mendorong pengelolaan hutan produksi pada kelestarian ekonomi, sosial, dan lingkungan," ujarnya.
Sugijanto mengatakan saat ini bisnis pengelolaan hutan produksi menghadapi dinamika yang harus direspons oleh pelaku usaha.
Hasil hutan berupa kayu saja dipandang tidak lagi memadai di tengah ancaman krisis pangan, air, perubahan iklim, energi serta krisis lingkungan yang lebih luas.
Terkait hal itu, lanjutnya, pemerintah telah mengambil langkah kebijakan strategis untuk mendorong penerapan model bisnis multiusaha kehutanan.
"Melalui pendekatan tersebut, pengelolaan hutan selain dituntut untuk menjaga sustainabilitas-nya, juga didorong mengembangkan berbagai usaha lain seperti hutan tanaman energi, ekowisata, agroforestri, bisnis karbon dan pemanfaatan produk non-kayu," katanya.
Sementara itu, dosen SIL UI Mahawan Karuniasa juga menyatakan pentingnya etika lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dikatakannya, banyak kearifan lokal di Indonesia khususnya terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, namun tidak cukup untuk menjadi pilar pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, karena pemanfaatan sumberdaya alam didominasi oleh konglomerasi maupun entitas besar.
"Oleh karena itu dibutuhkan pilar lain yaitu etika kebangsaan, khususnya etika lingkungan untuk melestarikan sumber daya alam kita," katanya.
Menurut dia, etika atau refleksi moralitas khususnya terkait lingkungan perlu diterapkan dalam sistem politik dan ekonomi.
Sudah tidak saatnya politik hanya berorientasi pembagian kekuasaan dan ekonomi hanya berbasis pasar serta mengejar pertumbuhan.
"Menjaga keberlanjutan sumber daya alam melalui penguatan etika lingkungan, justru akan menciptakan kestabilan politik dan ekonomi di era Anthropocene saat ini," ujar Mahawan.
Sementara itu, Executive Director Indonesia Business Council for Sustainable Development Indah Budiani menegaskan perlunya dukungan kebijakan untuk mendorong kolaborasi multipihak untuk mencapai keberlanjutan lingkungan.
"Kebijakan sangat berperan dalam mendorong kolaborasi multipihak dalam mencari solusi bersama atas permasalahan lingkungan atau sosial sebagai implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan," kata dia.
Selain itu, dia menambahkan perlunya insentif bagi sektor swasta yang mengembangkan program-program lingkungan dan masyarakat.
Baca juga: KLHK: Investasi sektor kehutanan 2023 melonjak, capai 331,1 juta dolar
Baca juga: Multi usaha kehutanan kembangkan diversifikasi produk selain kayu
Baca juga: 575 hektare area di cagar alam Waigeo Barat dijadikan hutan produksi
Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2024