Untuk Kanwil Jabar I yang lebih banyak dari penerbitan faktur pajak TBTS atau bukti transaksi yang tidak sebenarnya
Bandung Barat (ANTARA) - Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Jawa Barat mengungkapkan bahwa modus pelanggaran perpajakan mayoritas atau terbesar berupa penerbitan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (TBTS).

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I Kurniawan Nizar mengatakan di Jawa Barat, bahkan seluruh Indonesia, umumnya yang terbesar adalah penggelembungan biaya, dan faktur pajak yang fiktif namun dengan jumlah total yang berbeda-beda antar satu kantor wilayah.

"Untuk Kanwil Jabar I yang lebih banyak dari penerbitan faktur pajak TBTS atau bukti transaksi yang tidak sebenarnya. Kemudian ada penggelembungan biaya, dan menyembunyikan penghasilan," kata Kurniawan di Bandung Barat, Rabu.

Hal yang sama disampaikan oleh Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II Harry Gumelar yang menyampaikan bahwa penerbitan faktur pajak TBTS adalah pelanggaran tertinggi di daerahnya, dengan pelaku merupakan para pengusaha kena pajak.

"Jadi bisa pribadi atau badan atau corporate, yang pasti dia pengusaha kena pajak karena mereka yang bisa menerbitkan faktur pajak. Masalah yang ada dia menerbitkan faktur berbeda dengan barang yang dijual," ujarnya.

Baca juga: Sinergi DJP Jabar berhasil amankan Rp79,3 miliar penegakan perpajakan

Baca juga: Lelang Serentak 77 aset penunggak pajak Kemenkeu Satu Jawa Barat


Atas berbagai pelanggaran perpajakan selama tahun 2022 sampai saat ini, Kanwil DJP Jawa Barat I, II dan III, bersama kejaksaan dan kepolisian, menyelamatkan kerugian pendapatan negara sekitar Rp79,3 miliar dari 22 tersangka. Dengan rincian Kanwil DJP Jabar I (Rp19,16 miliar), Kanwil DJP Jabar II (Rp19,07 miliar), dan Kanwil DJP Jabar III (Rp41,07 miliar).

"Kerugian yang tercatat dan diamankan, secara umum adalah plus denda, jadi kalau kerugian negaranya bisa setengahnya," ujarnya.

Terkait dengan pelaksanaan aturan perpajakan, Kepala Kanwil DJP Jawa Barat III Romadhaniah mengatakan bahwa penegakan hukum perpajakan penting karena memberikan rasa keadilan kepada wajib pajak lewat kepastian bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghindari kewajiban perpajakannya harus dimintakan pertanggungjawaban secara hukum sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Penegakan hukum perpajakan itu memberikan efek jera (detterent effect) dan mencegah kecurangan pajak di masa depan dengan cara memastikan bahwa setiap tindak kecurangan pajak dapat dideteksi dan diproses hukum," ucap Romadhaniah.

Dia mengatakan bahwa DJP selalu mengedepankan asas Ultimum Remedium dalam setiap penanganan perkara dugaan tindak pidana di bidang perpajakan.

Kemudian, kata dia, pemidanaan merupakan upaya terakhir dengan tetap membuka kesempatan kepada tersangka untuk menggunakan haknya yaitu melunasi utang pajak yang tidak, atau kurang dibayar dan ditambah dengan sanksi administrasi, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

"Dalam hal Wajib Pajak menggunakan haknya tersebut maka terhadap tersangka akan dibebaskan dari penuntutan pidana pajak," tuturnya.

Sementara itu, Aspidsus Kejati Jawa Barat Agus Arfianto mengungkapkan bahwa negara membuka kesempatan para pelanggar pidana perpajakan untuk melakukan pemulihan pidana denda mulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga sebelum putusan.

"Setelah putusan inkracht, terdakwa tidak membayar pidana dendanya maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa untuk dilelang. Penegakan hukum perpajakan merupakan upaya Ultimum Remedium," tutur Agus.

Baca juga: Bapenda-DJP Jawa Barat kerja sama integrasikan data wajib pajak

Baca juga: Jabar jadi percontohan integrasi data dengan Ditjen Pajak

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2024