Jakarta (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Jefri Leo Candra menegaskan, kasus yang menjerat mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar saat ini bukan merupakan pengulangan (ne bis in idem).
Pasalnya saat divonis pada 2020, Emirsyah dijerat dengan pasal suap dan pencucian uang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan saat ini Emirsyah didakwa dengan pasal tindak pidana korupsi penyelewengan yang menyebabkan kerugian negara oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Perkara yang ditangani KPK dan Kejagung berbeda atau dengan kata lain perkara a quo bukan ne bis in idem," ujar JPU dalam sidang tanggapan terhadap nota pembelaan terdakwa (replik) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Baca juga: Emirsyah Satar dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar
Adapun dalih pengulangan perkara tersebut menjadi salah satu alasan keberatan Emirsyah dalam menjalani tuntutan, sehingga JPU meminta majelis hakim menolak nota keberatan itu.
JPU menuturkan KPK juga memiliki pendapat yang sama dengan Kejagung bahwa perkara yang menyangkut Emirsyah saat ini bukan merupakan pengulangan karena berbeda kasus.
Pendapat KPK tersebut, kata dia, bahkan diutarakan di media massa melalui juru bicara Tessa Mahardhika Sugiarto pada 21 Juli 2024.
"Kami harap majelis hakim menerima sepenuhnya pendapat kami terhadap pembelaan terdakwa Emirsyah," tuturnya.
Dengan demikian, JPU bersikap tetap pada tuntutan yang telah diberikan, yakni pidana delapan tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider pidana kurungan selama enam bulan dalam kasus pengadaan pesawat di Garuda Indonesia.
Ia juga dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar 86,36 juta dolar Amerika Serikat (AS) subsider penjara selama 4 tahun.
Menurut jaksa, Emirsyah Satar terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama, melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo.Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam perkara tersebut, Emirsyah didakwa terbukti secara tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (fleet plan) Garuda Indonesia kepada mantan Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo yang juga duduk sebagai terdakwa.
Rencana pengadaan armada yang merupakan rahasia perusahaan tersebut kemudian diserahkan kepada pabrikan Bombardier.
Emirsyah dinilai terbukti mengubah rencana kebutuhan pengadaan pesawat dari 70 kursi menjadi 90 kursi, tanpa terlebih dahulu ditetapkan dalam rencana jangka panjang perusahaan.
Ia juga diyakini memerintahkan bawahannya untuk mengubah kriteria pemilihan dalam pengadaan pesawat di Garuda Indonesia tanpa persetujuan dari dewan direksi.
Emirsyah pun dinilai jaksa telah terbukti bersekongkol dengan Soetikno selaku penasihat komersial Bombardier dan Avions De Transport Regional (ATR) untuk memenangkan Bombardier dan ATR dalam pemilihan pengadaan pesawat di Garuda Indonesia.
Padahal, pesawat jenis Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 tidak sesuai dengan konsep bisnis Garuda Indonesia yang menyediakan pelayanan penuh.
Perbuatan Emirsyah Satar tersebut didakwa mengakibatkan kerugian keuangan negara pada Garuda Indonesia dengan jumlah total 609,81 juta dolar Amerika Serikat (AS).
Ini bukan kali pertama Emirsyah diadili di meja hijau. Sebelumnya, Emirsyah Satar telah divonis dalam perkara berbeda.
Pada 8 Mei 2020, Dirut PT Garuda Indonesia 2005–2014 itu divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan serta dihukum membayar uang pengganti sebesar 2,11 juta dolar Singapura.
Vonis tersebut sebagai akibat Emirsyah yang telah terbukti menerima suap senilai Rp49,3 miliar dan pencucian uang sebesar Rp87,464 miliar.
Baca juga: Emirsyah Satar bantah pernah intervensi pengadaan pesawat Garuda
Baca juga: Soetikno minta bebas dari kasus korupsi Garuda untuk kumpul keluarga
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2024