Jakarta (ANTARA News) - Pemilu era orde baru diselenggarakan antara lain pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu pada era ini diawali dengan masa-masa transisi kepemimpinan Presiden Soekarno.
Diangkatnya Jenderal Soeharto menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, tidak membuatnya melegitimasi kekuasaannya pada masa transisi.
Bahkan ketetapan MPRS XI Tahun 1966 mengamanatkan agar pemilu baru diselenggarakan dalam tahun 1968, dan kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967 oleh Jenderal Soeharto bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden, Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-Gotong Royong (DPR-GR) bentukan Bung Karno, hanya saja dia melakukan “pembersihan” lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau orde lama.
Pada praktiknya pemilu kedua baru bisa diselenggarakan 5 Juli 1971, yang berarti setelah empat tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan.
Pada masa tersebut ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan era Soekarno, di mana UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Dalam UU itu pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral, tidak seperti Pemilu 1955 yang memperbolehkan pejabat negara, termasuk perdana menteri dari partai untuk ikut menjadi calon partai secara formal.
Tetapi pada praktiknya Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda juga dengan Pemilu 1955.
Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ampuh untuk mengurangi jumlah partai peraih kursi, dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.
Setelah tahun 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Enam tahun berikutnya yakni tahun 1977, pemilu ketiga dilaksanakan. Setelahnya pemilu selalu berlangsung setiap lima tahun sekali.
Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, hanya terdiri atas dua parpol dan satu Golkar. Hal tersebut imbas penyederhanaan jumlah partai yang dilakukan pemerintah bersama DPR, dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.
Kedua partai adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI dan satu Golongan Karya atau Golkar. UU No. 3 itu diimplementasikan hingga pemilu tahun 1997.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI hanya sekedar pelengkap atau ornamen belaka. Ibarat Golkar sudah ditetapkan menjadi pemenang sejak Pemilu 1971.
Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar mendapat dukungan birokrasi sipil dan militer.
Puncaknya Soeharto dilengserkan rakyat pada 21 Mei 1998 karena ketidakadilan sistem pemerintahan yang diterapkan Soeharto selama masa orde baru. (*)
Pewarta: -
Editor: Imansyah
Copyright © ANTARA 2014