Semarang (ANTARA) -
Guru Besar Universitas Diponegoro Prof. Sudharto Prawata Hadi yang juga pakar lingkungan meminta Pemerintah Kota Semarang untuk menjadikan hutan mangrove Mangkang sebagai ruang terbuka hijau (RTH) dengan mengubah tata ruang yang saat ini masuk sebagai kawasan industri.
 
"Apa yang sudah diupayakan masyarakat setempat selama 27 tahun yang dipelopori Pak Sururi, penerima Kalpataru 2024, jangan sampai hilang begitu saja kalau di tata ruang masih masuk kawasan industri," katanya pada Lokakarya Kopi Darling yang digelar Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF) di Pantai Mangkak Semarang, Jateng, Rabu.
 
Di hadapan sekitar 60 mahasiswa peserta lokakarya Kopi Darling (KOPDAR), ia mengatakan, apa yang diupayakan Pak Susuri, yang mengembangkan hutan mangrove sampai mencapai 28 hektare dengan 27 jenis mangrove itu telah membawa dampak signifikan dari sisi ekologi dan ekonomi masyarakat, bahkan sejalan dengan upaya pemerintah mengurangi emisi karbon.

Ia menjelaskan, hutan mangrove ini mampu menyerap karbon dari atmosfer hingga lima kali lebih banyak daripada hutan di daratan.
 
"Kalau digabung di tiga desa yaitu dikenal sebagai kawasan blok M yaitu Desa Mangkak Wetan, Mangkak Kulon dan Mangunharjo itu luasan mangrove mencapai 80 hektare, dan ini sayang kalau suatu saat dialihkan sebagai kawasan industri sesuai peruntukannya," kata mantan Rektor Undip itu.
 
Ia menjelaskan, apa yang dilakukan Pak Sururi dengan melestarikan mangrove menjadi bentuk pembangunan berkelanjutan yang regeneratif, dengan menyembuhkan luka di bumi dan memberi manfaat kepada banyak orang.

Baca juga: Hari Mangrove, Jerhemy minta anak muda jadi penjaga lingkungan
 
Senada diungkap Sururi yang berharap adanya perubahan tata ruang di hutan mangrove yang baru direstorasi itu sehingga apa yang dilakukan dia dan Kelompok Tani Mangrove Lestari bisa tetap lestari.

Ia mengaku secara pribadi sudah berbicara soal perubahan tata ruang ke Ketua DPRD Kota Semarang.

Ia berharap, pengembangan mangrove
terus didukung semua pihak agar tanah yang dulu terabrasi oleh gelombang pantai bisa kembali pulih.
"Saat ini sudah ada sabuk pasir sepanjang 1,5 kilometer garis pantai dan selama tiga tahun terakhir sudah melebar mencapai 300 meter, ini akan terus bertambah. Ini kesempatan untuk menanam mangrove dibalik sabuk itu," katanya.
 
Sabuk pasir itu juga sudah ditanami pohon cemara laut yang menjadikan pemandangan pantai menjadi indah.
 
Ia mempunyai obsesi untuk menjadikan hutan mangrove itu sebagai hutan ekowisata dengan membuat trek dari jembatan bambu yang melintasi kawasan hutan sehingga akan menambah perputaran ekonomi masyarakat setempat.
 
"Saat ini sudah terbangun lintasan jembatan bambu sepanjang 85 meter dan bisa diteruskan sampai 200 meter lagi," katanya.
 
Ia juga mengungkap, saat ini semakin banyak penyumbang perorangan yang tiba-tiba memberikan sumbangan untuk mengembangkan mangrove mulai dari ratusan pohon sampai ribuan pohon. "Gairah masyarakat untuk ikut membangun mangrove ini harus terus dijaga, mereka menyumbang tanpa mau disebutkan namanya," katanya.
 
Director Communications BLDF Mutiara Diah Asmara mengatakan, sejak 2008, BLDF mendukung upaya pelestarian mangrove oleh Pak Sururi yang mulai merintis hutan mangrove itu sejak 1997.
Ia menjelaskan, BLDF telah menyumbang sedikitnya 1,1 juta pohon mangrove di berbagai lokasi dengan penanaman yang melibatkan mahasiswa 10.000 mahasiswa dari 250 kampus.
 
"Saya berharap lokakarya ini, bisa membantu kita menemukan generasi-generasi penerus baru yang senantiasa berkomitmen menjaga lingkungan hidup yang berkelanjutan," katanya.
 
Sururi pada lokakarya itu menjelaskan, sebagai tanaman kaya manfaat, mangrove dapat tumbuh alami di pesisir, namun, tingkat harapan hidupnya rendah karena pengaruh pasang-surut air laut.
"Saya harap, apa yang saya perjuangkan ini dapat menginspirasi generasi muda untuk regenerasi sebagai pelestari mangrove,” ujar Susuri yang mampu mencetak 75.000 bibit mangrove setahun.

Baca juga: Indonesia adopsi kebijakan kehutanan ASEAN hasil pertemuan ASOF Ke-27

Pewarta: Budhi Santoso
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024