Surabaya (ANTARA) - Tanpa disengaja, bulan April-Juni 2024 ini terbit tiga buku tentang tiga tokoh NU, yakni Rais Akbar PBNU KHM Hasyim Asy'ari, pencipta lambang NU KH Ridlwan Abdullah, dan ketua umum pertama PBNU H Hasan Gipo, yang diterbitkan oleh tiga lembaga berbeda.

Seakan kebetulan, terbitnya tiga buku tentang tokoh penting dalam pertumbuhan Ormas NU itu pun menjawab framing (pembelokan) "sejarah" NU yang beredar pada sejumlah akun media sosial (medsos) sejak awal hingga pertengahan 2024, mengingat mereka justru dikenal pemersatu umat.

Pertama, buku tentang Rais Akbar PBNU KHM Hasyim Asy'ari itu berjudul "Hadratussyeikh KHM Hasyim Asy'ari: Pemersatu Umat Islam Indonesia (Percik Pemikiran Reflektif Socio-Religious KH Abdul Hakim Mahfudz)" oleh Penerbit Pustaka Tebuireng, Jombang, April 2024. Buku itu ditulis oleh tim "Tebuireng Institute for Islamic Studies".

Kedua, buku tentang pencipta lambang NU KH Ridlwan Abdullah ditulis oleh cucu KH Ridlwan Abdullah, M Ibnu Agusriyadi dengan judul "Sang Kreator KH Ridlwan Abdullah Pencipta Lambang NU" (Penerbit Litnus, Malang, Juni 2024). Ketiga, buku tentang H Hasan Gipo diterbitkan oleh Yayasan Insan Keturunan Sagipoddin (IKSA) Surabaya, Juni 2024.

Buku "Hadratussyeikh KHM Hasyim Asy'ari: Pemersatu Umat Islam Indonesia (Percik Pemikiran Reflektif)" yang tebalnya 214 halaman itu merupakan buku yang lengkap yang mengupas, mulai dari Hadratussyeikh lahir pada 14 Februasi 1871, lalu mondok ke Bangkalan, Sidoarjo, Pasuruan, Jombang, Kediri, hingga ke Mekkah (halaman 1-10).

Selain itu, pernikahan Hadratussyeikh, lalu mendirikan Pesantren Tebuireng (1899), hingga mengarang 21 kitab dan dua kitab belum diterbitkan (1937-1947), lalu aktivitas di pergerakan, seperti SI, Komite Hijaz, NU, dan MIAI/Masyumi, lalu turun berjuang dalam Pertempuran 10 November 1945, hingga wafat pada 25 Juli 1947 (halaman 11-42).

Hal menarik yang ditulis dalam buku itu menyebut dua peran penting dari pendiri NU tersebut, yakni Hadratussyeikh merupakan figur ulama atau ilmuwan plus aktivis yang mau turun ke masyarakat. Jadi, Hadratussyeikh bukan intelektual menara gading
.
Buktinya, Hadratussyeikh meliburkan ngaji pada setiap Selasa dan Jumat untuk bercocok tanam di sawah sambil bertemu dengan petani di desanya
untuk membahas pengairan, pertanian, dan sebagainya, sehingga Hadratussyeikh pun memiliki kharisma yang dekat dengan semua kalangan dan di situlah peran pemersatu mulai terlihat. (halaman 13-15).

Sebagai aktivis, Hadratussyeikh juga bukan hanya beraktivitas di dunia pergerakan (SI, Komite Hijaz, NU, dan MIAI/Masyumi), namun juga terjun di medan juang, hingga pernah ditahan Jepang (April-Agustus 1942), dan terlibat dalam Pertempuran 10 November 1945 lewat fatwa/resolusi, serta mengatur strategi dan memimpin laskar hingga wafat (halaman 27-42).

Satu lagi pelajaran penting, selain sosok ilmuwan plus aktivis, adalah Hadratussyeikh mendapatkan ilmu dari Timur Tengah dan dipadu dengan ilmu pesantren khas Jawa/Walisongo sehingga terejawantahkan dalam pesan-pesan dalam menjaga persatuan dan kesatuan.

Bahkan, persatuan yang dimaksud mencakup tiga lingkup, yakni persatuan kebangsaan, persatuan keagamaan, dan persatuan ber-mazhab. Persatuan kebangsaan dilandasi dengan kesamaan kebangsaan (satu bangsa), sedang persatuan keagamaan dilandasi kesamaan agama. Satu lagi, persatuan ber-mazhab dilandasi kesamaan mengikuti empat mazhab.


Global dan NU-Muhammadiyah

Pesan persatuan yang memosisikan Hadratussyeikh sebagai pemersatu itu tidak bermakna lokal, tapi juga nasional dan bahkan internasional. Maknanya, persatuan bangsa itu membuat bangsa bisa merdeka, persatuan agama itu membuat Islam bisa diperhitungkan, dan persatuan dalam perbedaan mazhab itu membuat Islam tidak terpecah belah.

Nah, persatuan agama dan mazhab itu justru memosisikan Hadratussyeikh dan NU/Komite Hijaz dalam peran-peran yang global atau internasional. NU terlahir dari cikal bakal bernama Komite Hijaz, sebuah komite yang ditugasi membawa pesan para kiai pesantren kepada Raja Sa'ud di Arab Saudi agar menghentikan tindakan-tindakan anti-kebebasan bermazhab (halaman 91-100).

Akhirnya, Raja Sa'ud atau pemerintah Arab Saudi pun menerima imbauan KHM Hasyim Asy'ari agar umat Islam mengikuti empat mazhab yang telah jelas keautentikannya, bukan hanya Wahabi dan Syiah. Nah, Islam moderat kini pun berkembang di dunia, termasuk Arab Saudi.

Buktinya, Menteri Urusan Islam, Dakwah, dan Penyuluhan Arab Saudi Syaikh Dr Abdullatif bin Abdulaziz Al-Syaikh ketika berkunjung ke Indonesia, justru mengajak seluruh umat Islam untuk menjalani ajaran agama dengan pemahaman moderat. Tidak ekstrem kanan dan ekstrem kiri.

Pesan dan pemikiran Hadratussyeikh KHM Hasyim Asy'ari tentang persatuan itu banyak didapat dalam kitab karyanya yang berjudul "Al Muqaddimah Al Qanun Al Asasi Li Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'" yang mengupas persatuan kebangsaan, persatuan keagamaan, kebutuhan akan mazhab, pelurusan beberapa fenomena keagamaan (paham anti-mazhab).

Semangat persatuan dari Hadratussyeikh KHM Hasyim Asy'ari itu mendapat apresiasi dari Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim Prof Bianto, saat dia menghadiri bedah buku itu di Surabaya (16/7/2024). Bagi Muhammadiyah, KHM Hasyim Asy'ari, NU, dan Tebuireng memiliki banyak perjumpaan (titik temu) dengan Muhammadiyah.

Perjumpaan NU-Muhammadiyah dari Hadratussyeikh itu disebut Prof Bianto, antara lain dari guru KHM Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) di Makkah yang sama, yakni Syaikh Khatib Al-Minangkabawi. Ada juga Syaikh Nawawi Al-Bantani. Itulah perjumpaan atau persatuan NU-Muhammadiyah.

Tidak hanya itu, H Hasan Gipo (ketua umum pertama PBNU) dan KH Mas Mansur (pendiri Muhammadiyah Jatim) juga masih saudara/sepupu. Selain itu, pemimpin Muhammadiyah Jatim juga banyak yang alumni Pesantren Tebuireng, seperti mantan Ketua PWM Jatim Ustadz Abdurrahim Noer dan beberapa pimpinan daerah. Itulah perjumpaan NU-Muhammadiyah, masa kini.

Inspirasi lain juga datang dari pencipta lambang NU KH Ridlwan Abdullah yang ditulis dalam buku "Sang Kreator KH Ridlwan Abdullah Pencipta Lambang NU". Kiai multitalenta itu mahir menggambar dan melukis ketika menempuh pendidikan dasar di sekolah Belanda, lalu menjadi santri Syaikhona Cholil, Bangkalan, Madura (halaman 12-13).

Sang kiai kreator itu membuat lambang NU saat Kongres/Muktamar ke-2 NU di Peneleh, Surabaya (1927), juga arsitektur Masjid Kemayoran Surabaya merupakan hasil desain rancangan KH Ridlwan Abdullah. Walau tidak memiliki pesantren, KH Ridlwan dikenal sebagai "kiai keliling" yang berdakwah dari kampung ke kampung di kawasan kota (halaman 16-20).

Selain pendakwah, KH Ridlwan Abdullah juga pengajar dan organisatoris. Ia mengajar di Madrasah Nahdlatul Wathan (1916) dan mendirikan koperasi Nahdlatut Tujjar (1918). Rumahnya di Jalan Bubutan VI/20 Surabaya sering dipakai tempat berkumpul para kiai untuk merumuskan dan merintis berdirinya NU pada kurun 1914-1926 (halaman 21-32).

Semangat ukhuwah (persatuan) tergambar jelas dalam lambang NU karya KH Ridlwan Abdullah, yakni bola dunia (tempat tinggal manusia), tali tambang (persaudaraan), peta Indonesia (lokasi NU), sembilan bintang (Rasulullah, empat sahabat, empat mazhab, perlambang Walisongo), dan warna hijau (kesuburan).


Hasan Gipo

Buku terakhir yang juga penting terkait sejarah NU adalah tentang H Hasan Gipo yang berjudul "Langgar (Bani) Gipo ("Markas" Ulama-Santri/Embrio NU)". Buku ini justru menguatkan bahwa Surabaya adalah "embrio" berdirinya NU.

Fakta historis yang tak terbantah adalah generasi awal NU itu sering bertemu (bersatu) di Kantor NU (HBNO) Jalan Bubutan VI, di Langgar Gipo Jalan Kalimas Udik I, di Jalan Kertopaten Gang 3 (Rumah KH Wahab Chasbullah), termasuk rapat-rapat di Rumah KH Ridlwan Abdullah.

Penggagas utama NU adalah tiga serangkai (teman sepondok di Pesantren Syaikhona Cholil, Bangkalan), yakni KH Ridlwan Abdullah (usia 40 tahun pada 1926), KH Mas Alwi (usia 35 tahun pada 1926), dan KH Wahab Chasbullah (usia 37 tahun pada 1926). Dari tiga serangkai itulah muncul nama H Hasan Gipo (usia 57 tahun) dari Bani Gipo sebagai tanfizdiyah atau pelaksana teknis (halaman 11).

Tidak banyak yang tahu, H Hasan Gipo yang bernama lengkap H Hasan Basri Sagipodin adalah "karib kebangsaan" dari KH Wahab Chasbullah, yang menghabiskan masa kecil di sekolah umum Belanda dan beberapa pesantren di Surabaya dan Sidoarjo, lalu menjadi saudagar hingga ditunjuk oleh KH Wahab Hasbullah menjadi "presiden" pertama NU.

Hasan Gipo yang lahir di Kampung Sawahan, Ampel, Surabaya, pada tahun 1869 dan wafat pada tahun 1934 itu rumahnya ada di sisi timur Masjid Ampel (Jalan Ampel Masjid di sisi makam Bobsaid, tepatnya rumah kedua setelah makam Bobsaid yang sekarang ditempati toko) dan makamnya juga ada di kompleks Masjid Ampel (sisi timur Masjid Ampel, setelah makam Mbah Sholeh) (halaman 12-13).

Dalam keterangannya (2015), sesepuh Bani Gipo, almarhum H Ismail Saleh, menjelaskan rumah Hasan Gipo di Ampel Masjid itu tidak jauh dari rumah mertua KH Wahab Hasbullah di Kertopaten Gang 3, Ampel, Surabaya, sehingga KH Wahab Hasbullah sangat dekat dengannya, lalu menunjuknya menjadi Ketua Umum PBNU yang pertama era Muktamar 1 hingga 9 (1926-1934) (halaman 14-15).

Meski ada buku yang menyebutkan H Hasan Gipo hanya menjadi "presiden" NU hingga 1928 (3 kali muktamar), namun periset sejarah dari dzurriyah Gipo, Asrul Sani Gipo, meluruskan bahwa Statuta 1930 masih menyebutkan Hasan Gipo sebagai "president" NU, bahkan Hasan Gipo masih terpilih dalam Muktamar ke-9 di Banyuwangi (1934), meski tidak hadir karena kesehatan, sehingga Pj Tanfidziyah dijabat Mochammad Noer dari Surabaya.

Selain mengenalnya di Taswirul Afkar, KH Wahab Hasbullah menilai Hasan Gipo adalah sosok pemberani. Konon, ia pernah menantang Musso, tokoh komunis yang mendalangi Peristiwa Madiun 1948. Musso adalah ateis, maka Hasan Gipo mengajak Musso tidur telentang di atas rel kereta api agar digilas kereta yang lewat, untuk membuktikan adanya Tuhan, tapi Musso justru kabur (halaman 16-17).

Jadi, terbitnya tiga buku tentang tokoh penting dalam pertumbuhan NU itu menandai fakta kelahiran NU di Surabya, sekaligus menandai peran NU dalam persatuan hingga tingkat dunia, yang dilandasi kesalehan sikap, bukan logika semata, bukan membenturkan Islam dengan Pancasila, mengingat Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi, sehingga hubungannya saling melengkapi.
​​​​​​​

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024