Menggenjot penerimaan pajak adalah krusial dalam konteks aksesi Indonesia ke OECD.
Jakarta (ANTARA) - Ekonom merekomendasikan Pemerintah Indonesia memperkuat tata kelola kelembagaan dalam konteks penerimaan pajak sebagai salah satu upaya dalam aksesi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

“Indonesia dapat saja bergabung dengan klub negara maju seperti OECD. Namun, karena rasio pajak Indonesia baru sekelas negara miskin, tentunya membutuhkan berbagai upaya keras untuk perbaikan,” kata ekonom International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Bona Tua Parlinggomon dalam diseminasi publik, di Jakarta, Selasa.

Menurutnya, penerimaan pajak Indonesia, walaupun menunjukkan tren meningkat secara nominal, masih jauh dari potensi yang dimiliki dan yang dapat digali. Data selama 10 tahun terakhir menunjukkan rasio pajak Indonesia berada dalam level 10 persen.

Padahal, berdasarkan perhitungan organisasi The PRAKARSA, Indonesia bisa memperoleh potensi kenaikan pajak sekitar 5 persen dari reformasi administrasi dan kebijakan.

“Menggenjot penerimaan pajak adalah krusial dalam konteks aksesi Indonesia ke OECD. Bukan semata karena Indonesia perlu sumber keuangan yang lebih banyak, tetapi juga ada konsekuensi finansial yang harus ditanggung Indonesia,” katanya pula.

Dengan bergabung ke OECD, maka Indonesia tidak lagi menjadi negara penerima bantuan pembangunan, melainkan menjadi negara dengan tanggung jawab memberikan bantuan pembangunan (Official Development Assistance atau ODA).

Di samping itu, lantaran adanya kontribusi wajib dan sukarela bagi anggota yang dihitung berdasarkan skala perhitungan tertentu serta ukuran ekonomi (produk domestik bruto atau PDB) dan jumlah penduduk, maka Indonesia berpotensi membayar lebih besar dibandingkan sejumlah negara Uni Eropa.

Dengan ruang fiskal yang cukup sempit, Pemerintah Indonesia dinilai perlu menaikkan penerimaan pajak untuk kepentingan aksesi serta menaikkan derajat Indonesia sebagai negara yang setara dalam klub negara maju di kalangan anggota OECD.

Beberapa cara yang dapat dilakukan Pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak, di antaranya mendorong perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan, dan penegakan hukum untuk meningkatkan ketaatan pajak.

Di samping itu, Indonesia juga dinilai perlu membuka kemungkinan pada potensi alternatif pajak lain, seperti pajak warisan, pajak kekayaan, serta pengetatan aspek perpajakan demi aktivitas perdagangan komoditas.

Merespons rekomendasi tersebut, Kementerian Keuangan memastikan akan terus berkomitmen mengoptimalkan penerimaan perpajakan.

“Memang ini menjadi komitmen kami untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan untuk membiayai operasional pembangunan nasional,” ujar Analis Kebijakan Ahli Madya pada Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Eka Hendra Permana.

Namun, kata Eka lagi, penggunaan instrumen perpajakan perlu diawasi agar tidak menjadi penghambat proses pembangunan.

“Bisa saja kita seperti Finlandia, memberikan semuanya secara gratis tapi pajaknya di atas 50 persen. Kalau kita meningkatkan secara drastis, belum tentu akan produktif. Ini yang perlu kita pikirkan,” kata dia.

Sejumlah ekonom bergabung menyusun dokumen berjudul “Bunga Rampai: Mengkaji Aksesi Indonesia menuju Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Perspektif Masyarakat Sipil”.

Sejumlah ekonom itu berasal dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Migrant CARE, The PRAKARSA, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, dan Transparency International (TI) Indonesia.
Baca juga: Kanwil DJP Jatim 1 optimistis capai target penerimaan Rp54,63 triliun
Baca juga: Penerimaan pajak di Jakpus mayoritas dari perdagangan


Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024