Alam ini sebetulnya diciptakan teratur, ada rawa dan bentuk lainnya. Manusia cenderung merubah kondisi alam sesuai keinginannya
Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti jumlah kebutuhan air di DKI Jakarta yang tak sebanding dengan debit air yang tersedia di wilayah tersebut.
Dalam gelar wicara yang diikuti secara daring di Jakarta Selasa, Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN Irfan Budi Pramono memaparkan kebutuhan air di Jakarta mencapai sekitar 30.000 liter per detik, sedangkan jumlah debit air yang tersedia hanya berada di bawah 20.000 liter per detik.
"Pada 2028 diprakirakan -kebutuhan air- mencapai 40.000 liter per detik, bahkan hingga 2033 -kebutuhan air- sudah di atas 45.000 liter per detik, sedangkan kita lihat ketersediaan air relatif di sekitar 18.000 per detik," kata Irfan.
Irfan juga mengungkapkan kebutuhan air di Jakarta meningkat sekitar 3,3 persen setiap tahunnya.
Hal tersebut, katanya, disebabkan oleh meningkatnya nilai konversi air menjadi uap melalui permukaan tanah dan tanaman atau evapotranspirasi, perilaku manusia, dan pertumbuhan populasi.
"Perubahan iklim menyebabkan perubahan pola hujan menjadi berintensitas tinggi dalam waktu yang singkat, yang mengakibatkan perubahan suhu, dan juga mengakibatkan masalah pada sumber daya air," ujarnya.
Tidak hanya di DKI Jakarta, Irfan mengungkapkan hal yang sama juga terjadi di sejumlah wilayah lain di Indonesia, yang bisa dilihat pada kontinuitas, kuantitas, serta kualitas air yang tersedia dalam sebuah sumber air di salah satu wilayah.
Ia memaparkan sejumlah sungai di Pulau Jawa seperti Sungai Ciujung di Banten-Jawa Barat, Cikapundung, Cimanuk, dan Citanduy di Jawa Barat, Bengawan Solo di Jawa Tengah-Timur, serta Brantas di Jawa Timur cenderung mengalami penurunan debit air dari tahun ke tahun.
"Waspada air kita semakin lama semakin berkurang, bisa jadi bom waktu kalau tidak diantisipasi bagaimana mempertahankan sumber daya air tersebut," tegas Irfan.
Karena itu, BRIN tengah melakukan studi Watershed Health Assessment System (WHAS) guna menganalisis terkait kesehatan sumber daya air di suatu wilayah, melalui berbagai indikator seperti hidrologi, tanah, dan sosioekonomi yang salah satunya sudah dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu di Jawa Barat.
Studi tersebut, kata dia, telah menemukan sejumlah masalah penyebab kurang baiknya kualitas air di daerah tersebut, untuk kemudian dilakukan berbagai solusi berbasis alam seperti rehabilitasi hutan dan lahan, pembuatan kolam retensi dan resapan air, menghindari pelurusan sungai, serta penerapan konservasi air pada berbagai penggunaan lahan.
"Alam ini sebetulnya diciptakan teratur, ada rawa dan bentuk lainnya. Manusia cenderung merubah kondisi alam sesuai keinginannya, seperti di Jakarta ada Rawamangun dan rawa lainnya yang dikeringkan buat perumahan, sehingga banjir karena air berasal dari situ. Kalau dikembalikan fungsinya itu bagus, supaya tidak banjir di hulu dan bisa menyaring air yang tercemar dengan tanaman yang ada," tutur Irfan Budi Pramono.
Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024