"Alih-alih hanya berdiam diri dan menunggu bantuan datang, bertani adalah salah satu opsi yang mereka miliki untuk mengatasi tantangan..."
Gaza (ANTARA) - Meningkatnya risiko kelaparan di Jalur Gaza mendorong Yousuf Abu Rabea, seorang petani berpengalaman, untuk memulai pertanian di atap rumah sambil mempersiapkan lahan pertaniannya yang rusak akibat perang di tengah berbagai kesulitan yang dihadapinya.
"Sayuran, buah-buahan, daging, dan bahkan makanan kaleng yang biasa kami terima sebagai bantuan kemanusiaan sudah habis di pasar-pasar setempat," kata pria berusia 24 tahun dari Beit Lahia, Jalur Gaza utara itu kepada Xinhua.
Upayanya itu dianggap berisiko tinggi karena serangan udara yang tak terduga, kekeringan, dan kurangnya pasokan pupuk di bawah blokade ketat Israel bisa merusak segala upaya yang dilakukan untuk memproduksi sayuran guna memberi makan warga setempat yang kelaparan.
Warga Palestina yang mengungsi akibat konflik yang masih berlangsung terbiasa hidup dalam keadaan kekurangan. Bagi Yousuf, keputusan untuk melanjutkan pertaniannya muncul setelah mengetahui bahwa tiga tetangganya meninggal dunia karena kelaparan.
Khawatir keluarganya akan mengalami nasib yang sama, Yousuf mulai membersihkan atap rumah untuk membuat petak tanaman pertamanya setelah tentara Israel mengizinkan dirinya dan warga pengungsi lainnya untuk kembali ke kota mereka.
Bahkan benih yang baik pun langka. Yousuf mengatakan bahwa dirinya membajak lahan-lahan yang ditinggalkan dan berhasil "mengumpulkan benih paprika hijau, terong, selada air, dan tanaman lainnya yang tumbuh cepat dan mudah ditanam."
Tantangan demi tantangan terus berdatangan. Tanah yang subur rusak akibat konflik atau dijadikan tempat untuk membangun tenda-tenda bagi para pengungsi. Sekitar 63 persen lahan tanaman permanen di Gaza telah rusak, menurut statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Juli.
Lebih buruk lagi, daerah kantong pesisir yang terkepung tersebut menghadapi kekurangan air. Sekitar 67 persen fasilitas air dan sanitasi telah hancur atau rusak akibat aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan konflik, tunjuk statistik PBB pada Juni.
Warga Gaza "tidak mempunyai cukup makanan untuk melanjutkan hidup. Banyak dari mereka tidur dalam keadaan lapar, dan hanya makan satu kali sehari jika mereka beruntung," kata WFP.
"Kelaparan bukan hanya soal makanan. Masyarakat membutuhkan nutrisi. Mereka membutuhkan akses terhadap layanan kesehatan. Mereka membutuhkan air bersih, dan mereka membutuhkan tempat berlindung."
Yousuf dan saudara laki-lakinya kemudian mengeringkan benih-benih tersebut selama dua hari sebelum ditanam kembali. Keberhasilannya dalam pembibitan sayuran batch pertama mendorong orang lain untuk bergabung dan memperluas skalanya.
"Kami sekarang bersiap menanam sayuran musim panas untuk memastikan pasokan minimum produk pertanian bagi masyarakat kami," tuturnya.
Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap Hamas di Jalur Gaza sebagai pembalasan atas serangan Hamas di perbatasan Israel selatan pada 7 Oktober 2023. Warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel yang terus berlangsung di Jalur Gaza meningkat menjadi 38.983 orang, kata otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Minggu (21/7).
Dua juta orang, atau hampir seluruh penduduk Gaza, menghadapi berbagai tingkatan krisis kerawanan pangan, dan angka malanutrisi terus meningkat, demikian disampaikan oleh Program Pangan Dunia (World Food Programme/WFP) di platform media sosial X pada akhir Juni.
Bahkan jika perang segera berakhir, Yousuf berkata, "kami tidak akan bisa kembali ke kehidupan normal dengan cepat."
Alih-alih hanya berdiam diri dan menunggu bantuan datang, bertani adalah salah satu opsi yang mereka miliki untuk mengatasi tantangan, menurut petani muda itu.
Kini, dia mendorong petani lainnya untuk mengolah tanah mereka meski perang masih terus berlanjut. "Perang ini akan berakhir cepat atau lambat, jadi kita harus mempersiapkan untuk hari itu," katanya.
Pewarta: Xinhua
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024