Beijing (ANTARA) - Saat pemandu wisata menyampaikan tujuan selanjutnya adalah kompleks "Bafang Shisanxiang" yang terkenal dengan delapan masjid di enam jalur horizontal dan tujuh jalur vertikal, yang terbayang adalah masjid-masjid pada umumnya dengan kubah dan menara.

Kenyataannya, masjid di kompleks kuno yang sudah ada sejak abad ke-7 tersebut lebih banyak memadukan atap ukiran gaya Tiongkok dan menara berbentuk pagoda, meski tetap mempertahankan dasar desain masjid tradisional, berikut simbol bulan sabit di ujung atap.

Seperti masjid lain di China, masjid di kawasan Bafang, perfektur otonom Linxia Hui, Provinsi Gansu, juga tidak memiliki pengeras suara. Dalam keterangan yang tertulis di batu marmer di depan masjid, disebutkan masjid itu disebut "Masjid Barat" milik mazhab Gedim.

Sayangnya, pengunjung non-Muslim tidak boleh masuk ke dalam masjid, sehingga hanya dapat membaca keterangan bahwa masjid itu pertama kali dibangun pada periode Dinasti Qing, dengan aula ibadah memiliki atap bersudut, balok berukir dan puncak menara heksagonal.

Bila pengunjung yang tidak bisa membaca aksara Mandarin, pasti dari penampakan luar tidak berpikir bahwa bangunan megah tersebut adalah masjid. Hanya saja, etika melihat pria bertopi kecil dan berjanggut masuk ke dalam gerbang kayu dan mengucapkan salam, barulah teryakinkan bahwa bangunan itu adalah masjid.
Penampilan masjid etnis minoritas Hui di kawasan "Bafang Shisanxiang", kota Linxia, prefektur otonomi Linxia Hui, Provinsi Gansu, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Sementara jamaah yang beribadah di masjid tersebut adalah Suku Hui, kelompok Muslim terbesar di China dengan populasi lebih dari 11 juta jiwa, menurut sensus tahun 2020.

Suku Hui sendiri memiliki perawakan yang mirip dengan suku mayoritas Han (berjumlah 1,29 miliar jiwa), namun dibandingkan dengan suku minoritas lainnya, ia adalah kelompok minoritas ketiga terbesar setelah Suku Zhuang (19,6 juta) dan Uyghur (11,8 juta).

Berbeda dengan Suku Uyghur yang sama-sama beragama Islam, tetapi terpusat di Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang, Suku Hui tersebar di Provinsi Gansu, Qinghai, Henan, Hebei, Shandong, dan Yunnan, Daerah Otonomi Ningxia Hui, dan juga Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang.


Muslim Hui

Berdasarkan laman Dewan Negara (State Council) Pemerintah China, nama Hui merupakan singkatan dari "Huihui", mengacu pada Suku Huihe (Ouigurs) yang tinggal di Anxi di wilayah yang sekarang disebut Xinjiang dan sekitarnya, sejak Dinasti Tang (618-907).

Sekitar pertengahan abad ke-7, orang Arab Islam dan Persia datang ke China untuk berdagang dan kemudian menjadi penduduk tetap di kota-kota, seperti Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, Yangzhou, dan Chang'an (sekarang Xi'an). Beberapa dari mereka menikah dan memiliki anak yang kemudian dikenal sebagai "tusheng fanke", yang berarti "tamu asli dari daerah terpencil". Orang-orang ini menjadi bagian dari Huihui, yang datang dalam jumlah besar ke China dari Asia Tengah.

Kemudian pada awal abad ke-13, ketika pasukan Mongolia melakukan ekspedisi ke barat, orang-orang beragama Islam dari Asia Tengah, Persia dan Arab bermigrasi secara sukarela ke China. Orang-orang ini, yang juga disebut Huis atau Huihuis karena keyakinan agama mereka identik dengan orang-orang di Anxi.

Suku Huihui, saat ini adalah kelompok etnis yang asal-usulnya berasal dari dua kategori tersebut dan dalam perkembangannya mencakup pencampuran dari etnis lain, termasuk Han, Mongolia, dan Uyghur.

Sebagai orang-orang yang datang ke China dari tempat yang sistem sosial, adat istiadat dan kebiasaannya berbeda, Suku Huihui menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan sosial, aktivitas ekonomi, kesamaan nasib politik, hingga kesamaan agama Islam.

Karena selama bertahun-tahun tinggal bersama Suku Han dan semakin banyaknya Suku Han yang bergabung dengan kelompok Hui, secara bertahap, orang Hui pun hanya berbicara dalam Bahasa Han, mengenakan pakaian seperti Suku Han, hingga menggunakan nama dan nama keluarga Han.

Meskipun demikian, agama Islam tetap punya pengaruh yang besar terhadap gaya hidup orang Hui, misalnya, seorang bayi yang baru lahir diberi nama Hui oleh seorang ahung (imam), upacara pernikahan harus disaksikan oleh ahung; orang yang meninggal harus dibersihkan dengan air, dibungkus dengan kain putih dan harus segera dikuburkan tanpa peti mati di hadapan seorang ahung yang menjabat sebagai ketua.

Mazhab di kalangan Muslim Hui terbagi menjadi empat, yaitu yang paling populer adalah Gedimu (mencakup sekitar 70 persen) dengan mempraktikkan pembacaan Alquran menggunakan bahasa Arab, sehingga kerap pembacanya tidak memahami makna teks.
Penampilan masjid etnis minoritas Hui di kawasan "Bafang Shisanxiang", kota Linxia, prefektur otonomi Linxia Hui, provinsi Gansu, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Mazhab kedua, yaitu Ikhwani yang menekankan makna Alquran, karenanya, materi keagamaan dalam Bahasa Mandarin tersedia di masjid-masjid aliran Ikhwani.

Mazhab ketiga, yang juga dianut oleh umat Muslim Uyghur, yaitu Qadriya dan Naqashabandiyah. Sebagai salah satu tempat lahirnya tasawuf China, Linxia menjadi pusat bagi subkelompok Naqashbandiyah tersebut dan terakhir, sebagian kecil Muslim Hui adalah Salafi atau Wahhabi China yang menganut Islam versi Arab Saudi.

Laki-laki Hui terbiasa memakai topi keci, tanpa pinggiran berwarna putih atau hitam, khususnya saat shalat, sedangkan perempuan pada umumnya, tapi tidak selalu, mengenakan jilbab hitam, putih atau hijau. Suku Hui tidak makan daging babi atau darah hewan dan mereka menolak meminum alkohol yang semuanya berasal ajaran agama Islam.

Salah satu orang Hui terpandang adalah Laksamana Zheng Ho atau lebih terkenal disebut sebagai Cheng Ho yang memimpin armada besar ke lebih dari 30 negara Asia dan Afrika --termasuk Indonesia-- dalam 29 tahun pada era Dinasti Ming. Ia berkeliling didampingi Ma Huan dan Ha San, juga asal Hui, sebagai penerjemahnya.

Setelah 1949, Pemerintah China menerapkan kebijakan otonomi etnis daerah di wilayah berpenduduk Hui karena Hui yang satu berbeda dari satu tempat ke tempat lain terbentuk Daerah Otonomi Ningxia Hui, prefektur Otonomi Linxia dan Changji Hui di Provinsi Gansu dan Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang, dan masih ada enam kabupaten otonomi Hui lainnya.

Percampuran Hui dan Han juga tampak dalam masakan Hui. Contohnya, resep Han, seperti telur dan tomat, kubis pedas, dan hidangan lain sama. Satu-satunya perbedaan adalah restoran yang dikelola orang Hui Muslim bersertifikat halal, yang memberikan jaminan masakan itu tanpa daging maupun lemak babi.

Hidangan khas Hui, mi daging sapi Lanzhou (ibu kota Provinsi Gansu), dapat disantap di kantin halal di seluruh China dan rasanya tidak jauh berbeda dari jenis mi kuah di daerah China lainnya.

Berkat banyaknya masjid di Linxia mendapat julukan "Mekah Kecil" di kalangan umat Islam di China. Ada sekitar 3.000 masjid dalam berbagai ukuran di kota tersebut.

Berbeda dengan suku Uyghur yang kerap memunculkan isu separatisme dan terorisme, Suku Hui dinilai tidak memiliki pretensi mengenai dua hal tersebut.

Salah satu alasan penting mengapa Muslim Hui berhasil hidup lebih harmonis dengan Suku Han di negara yang dikuasai Partai Komunis adalah cara mereka melakukan sinofikasi Islam. Suku Hui mewujudkan Islam dengan ciri khas China sejak Dinasti Tang abad ke-7.

Sepanjang sejarah mereka, beberapa orang Hui juga secara aktif mencoba menggabungkan budaya Islam dan China. Pada abad ke-18, misalnya, cendikiawan Hui Liu Zhi menulis "Kitab Han", sebuah sintesis antara Islam dengan Konfusianisme yang mengidentifikasi Nabi Muhammad sebagai orang bijak dan menghubungkan hukum syariah dengan ritual Konfusianisme.


Bendungan Liujiaxia

Selain menjadi "rumah" bagi etnis minoritas Hui, Linxia juga menjadi lokasi bendungan Liujiaxia yang mengoperasikan lima Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Liujiaxia, dengan total kapasistas 1,225 juta Kilo Watt (KW).

Bendungan yang airnya berasal dari Sungai Kuning tersebut dibangun pertama pada 1958 dan menyelesaikan seluruh bangunan pada 1969 sebagai bagian dari proyek Rencana Lima Tahun pertama (1953-1957) Pemerintah China.

Bendungan Liujiaxia dirancang untuk menjadi pembangkit listrik, dengan manfaat tambahan adalah pengendalian banjir, irigasi, pencegahan kemacetan es, navigasi, budi daya perairan dan lainnya, sehingga dikenal sebagai "Mutiara Sungai Kuning" dan masuk dalam Daftar Warisan Industri Nasional.
Bendungan Liujiaxia di prefektur otonomi Linxia Hui, provinsi Gansu, China. (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Tidak heran untuk mendekat ke lokasi bendungan diperlukan izin khusus dan ada tentara aktif yang berjaga di gerbang depan bendungan.

Sebagai PLTA jutaan megawatt pertama di China, PLTA Liujiaxia mampu menghasilkan 5,7 miliar kWh setiap tahun. Pembangkit listriknya memiliki lebar sekitar 25 meter, panjang 180 meter dan tinggi 20 lantai, dengan 5 turbin besar buatan China di tengah.

PLTA tersebut memasok listrik ke Pronvisi Shaanxi, Gansu, Qinghai dan memainkan peran penting dalam jaringan listrik barat laut China.

Sementara total kapasitas Bendungan Liujiaxia adalah 5,7 miliar meter kubik, luas daerah aliran sungai terkendali seluas 173.000 kilometer persegi dan debit tahunan rata-rata 834 meter kubik per detik.

Material bendungan adalah beton setinggi 147 meter, panjang 204 meter dan lebar atas 16 meter. Setiap tahun, bendungan Liujiaxia memasok 800 juta meter kubik air untuk irigasi pertanian di Gansu, Ningxia, dan Mongolia Dalam seluas 1,07 juta hektare.

Bendungan tersebut juga menjadi pencegah kemacetan es yang bertahun-tahun melanda Sungai Kuning. Pada periode pencairan es pada musim semi, volume air meningkat, es pecah dan es terapung menghalangi bendungan, sehingga menyebabkan bencana kemacetan es serius yang ditandai dengan meluapnya sungai dan tanggul yang jebol.

Setelah Bendungan Liujiaxia aktif beroperasi sekitar 700 km wilayah hilir terlindungi dari bahaya kemacetan es dan tidak ada bencana kemacetan es besar terjadi dalam 20 tahun terakhir.

Selain itu, Bendungan Liujiaxia memenuhi kebutuhan air industri dan perkotaan di Kota Lanzhou, Yinchuan dan kota-kota hilir lainnya karena menghasilkan sekitar 700.000 meter kubik air setiap hari.

Sekretaris Panitia Tetap Partai Komunis China (PKC) Provinsi Gansu yang juga Wakil Manajer PLTA Liujiaxia Zhao Yubing mengatakan ketahanan bendungan tersebut sudah cukup teruji, termasuk terhadap bencana alam, seperti gempa berkekuatan 6,2 skala Richter yang mengguncang Provinsi Gansu pada Desember 2023.

"Gempa di Jishishan tahun lalu yang hanya berjarak sekitar lima puluh kilometer, namun bendungan kami dan berbagai bangunannya tetap aman dan peralatannya masih utuh. Hal itu membuktikan tingkat kualitas konstruksi bendungan kami, termasuk PLTA di dalamnya," kata Zhao di lokasi bendungan itu pada Senin (15/7).

Zhao menyebut Bendungan Liujiaxia juga punya sistem pencegahan dan pengendalian bencana yang komprehensif.

"Kami juga punya sistem peringatan dini, prakiraan hingga pemeliharaan, dan pengawasan seluruh sistem manajemen komando darurat karena kami punya serangkaian pengalaman dalam mitigasi bencana geologi, termasuk gempa bumi," ujar Zhao.

Ia pun menyebut sejauh ini belum pernah terjadi gempa bumi atau bencana alam besar di Bendungan Liujiaxia.

Linxia di lembah Sungai Daxia (anak Sungai Kuning) pun akhirnya dibuat nyaman sebagai rumah bagi etnis minoritas Hui.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024