Pekanbaru, (ANTARA) - Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, Akmal Abbas mengatakan bahwa pihaknya telah menuntut 45 terdakwa perkara narkotika dengan hukuman mati sepanjang tahun 2024.

"Sebanyak 45 terdakwa perkara narkotika telah dituntut pidana mati," katanya saat jumpa pers terkait Hari Bhakti Adhyaksa ke-64, di Pekanbaru, Senin.

Selain tuntutan mati, Kejati Riau dan jajaran juga menuntut terdakwa narkotika dengan penjara seumur hidup dalam 22 perkara.
 
 Menurut dia, upaya penegakan hukum terus dilakukan, termasuk menindak tegas para pelaku sebagai efek jera.

"Tuntutan mati dan seumur hidup ini merupakan perkara-perkara besar, termasuk sindikat maka dilakukan tindakan tegas," katanya.

Namun, tambah Abbas, hukuman tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkrah karena masih ada upaya hukum yang sedang dalam proses.

"Apabila sudah inkrah maka Kejati Riau akan melakukan eksekusi sesuai penetapan Mahkamah Agung (MA)," katanya.

Ia memberikan contoh terkait dua terdakwa peredaran narkotika jaringan internasional yang sudah divonis dengan pidana mati. Kedua terdakwa tersebut ialah Syadfiandi Adrianto dan Alamsyah yang putusan terhadap keduanya dibacakan di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru 10 Juni lalu.

Hakim dalam putusannya sependapat dengan tuntutan JPU, yakni menyatakan kedua terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 114 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Majelis hakim dalam amar putusannya menjatuhkan pidana mati kepada para terdakwa.

Majelis hakim berpendapat tidak ada hal-hal yang meringankan terhadap para terdakwa yang merupakan kurir narkoba jenis sabu sebanyak 64 kilogram tersebut. Sedangkan hal-hal memberatkan yakni perbuatan para terdakwa bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan peredaran narkotika dan merusak mental generasi muda.

Para terdakwa juga terlibat dalam jaringan narkotika nasional serta mereka sudah pernah dipidana penjara dalam perkara narkotika.
 

Pewarta: Bayu Agustari Adha/Annisa Firdausi
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2024