Banda Aceh (ANTARA News) - Hasil penelitian Bank Dunia (World Bank) menunjukkan penduduk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menduduki peringkat kedua miskin terbesar di Indonesia pasca tsunami 2004.
"Tsunami menyebabkan naiknya jumlah penduduk miskin sebesar tujuh persen sehingga Aceh menjadi provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin kedua terbesar di Indonesia," kata anggota tim penyusun laporan Bank Dunia, Ahya Ihsan, di Banda Aceh, Selasa.
Laporan tersebut bersumber dari data resmi pemerintah dan survey lapangan. Sebelum tsunami Aceh berada di peringkat empat penduduk miskin yaitu sebesar 29 persen, pasca tsunami meningkat menjadi 36 persen.
Padahal, menurut dia, Aceh saat ini menerima fiskal yang sangat besar dari berbagai sumber yang dapat menunjang pembangunan daerah dan memperbaiki kualitas pelayanan publik.
Diperkirakan, penerimaan pemda semakin meningkat terutama setelah disahkannya Undang-undang No.11/2006 tentang pemerintahan Aceh di mana provinsi berjuluk Serambi Mekah itu akan menerima Dana Alokasi Umum (DAU) dari kompensasi minyak dan gas sebesar Rp3 triliun hingga Rp4 triliun per tahun mulai 2008.
Di samping penerimaan yang besar, pengalokasian pada sektor-sektor utama seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur masih rendah disebabkan sebagian besar belanja dialokasikan untuk belanja rutin dan aparatur pemerintah.
Selain itu, Menurut Ahya, kapasitas pemerintah kabupaten/kota dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran perlu ditingkatkan sebab dari survey yang dilakukan World Bank di sembilan kabupaten/kota di Aceh menunjukkan pengelolaan keuangan daerah masih rendah.
Sebelum masuknya dana rekonstruksi, Aceh memiliki anggaran ketiga terbesar setelah Papua dan Kalimantan Timur. Saat ini sumber penerimaan baik dari APBD ditambah dana rekonstruksi jumlahnya enam kali lipat lebih besar dari tahun 1999.
"Seharusnya sumber dana ini sudah cukup untuk mengangkat penduduk Aceh dari kemiskinan jika dibelanjakan dengan bijaksana," kata Koordinator Rekonstruksi Aceh, Bank Dunia, Joel Hellman.
Setelah desentralisasi pada 2001 dan sumber dana rekonstruksi turun pada Juni 2006, dana sebesar 4,9 miliar dolar AS telah dicairkan namun pengeluaran provinsi dan kabupaten/kota meningkat dari Rp6 triliun menjadi Rp8 triliun akibat besarnya belanja rutin.
Karena itu penelitian Bank Dunia merekomendasikan belanja aparatur negara dibatasi dan tingkatkan belanja pembangunan, selain itu perlu ditingkatkan kapasitas pemerintah dalam mengelola keuangan daerah.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006