Jakarta (ANTARA) - Lembaran Rp2.000 acapkali terasa remeh. Tak jarang, lembaran itu tercecer di jalan, terselip di bawah meja, bahkan direlakan dalam berbagai transaksi jual beli akibat nominalnya yang terkesan mungil.
Akan tetapi, Rp2.000 tak dapat diremehkan ketika ia menjelma menjadi nominal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), sebagaimana yang terjadi pada 2014 silam.
Pada 18 November 2014, Presiden Joko Widodo pada awal memimpin negeri ini, menyesuaikan harga bensin Premium (gasoline) RON 88 dari Rp6.500 per liter menjadi Rp8.500 per liter, serta minyak solar (gas oil) bersubsidi dari Rp5.500 per liter menjadi Rp7.500 per liter.
Dikutip dari laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut berbuntut pada angka realokasi subsidi BBM yang mencapai Rp211,3 triliun.
Hanya dengan Rp2.000, negara memperoleh keleluasaan untuk merealokasi subsidi hingga ratusan triliun rupiah.
Sayangnya, kebijakan tersebut memicu kenaikan harga kebutuhan pokok, baik yang berupa bahan makanan, makanan jadi, kebutuhan sandang, kesehatan, dan lain-lain. Pada Desember 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadinya inflasi sebesar 2,46 persen.
Isu kenaikan harga BBM memang bisa merembet ke berbagai sisi, mulai kelangkaan hingga pembatasan BBM bersubsidi sehingga dapat menimbulkan keresahan masyarakat yang bermuara ke panic buying.
Walakin, Presiden Jokowi menyatakan sejauh ini Pemerintah belum membahas tentang kebijakan pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Hal serupa juga ditegaskan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri ESDM Arifin Tasrif.
Terlebih, pembatasan tersebut tidak dapat dilakukan sebelum tuntasnya revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Revisi Perpres 191/2014
Sesungguhnya, rencana pembatasan penyaluran BBM bersubsidi bukanlah hal baru. Wacana pembatasan tersebut sudah muncul sejak usulan revisi Perpres 191/2014 yang mengatur tata niaga BBM diajukan pada pertengahan 2022.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengingatkan Pemerintah untuk menyelesaikan revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 sebelum membatasi konsumsi BBM bersubsidi.
Eddy menjelaskan, setidaknya ada dua hal penting yang perlu dicantumkan dalam revisi perpres tersebut. Pertama, terkait kategori atau kriteria kelompok masyarakat dan kendaraan yang berhak mengonsumsi BBM bersubsidi.
Kedua, terkait sanksi yang diberikan kepada mereka yang masih membeli atau menjual BBM bersubsidi yang bertentangan dengan perpres itu.
Eddy mengatakan bahwa wacana larangan pembelian BBM bersubsidi ini berlaku hanya untuk masyarakat kelas menengah ke atas atau masyarakat mampu.
Sementara, masyarakat ekonomi kelas bawah, seperti pengendara/pengemudi ojek online, sopir angkot, kendaraan UMKM, hingga sepeda motor masih berhak dan diperbolehkan membeli BBM bersubsidi.
Ihwal penggunaan BBM bersubsidi oleh layanan ojek dan taksi online, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agus Cahyono mengatakan Pemerintah sedang mengkaji pengawasannya.
Pemerintah menghindari terjadinya penyalahgunaan BBM bersubsidi, namun tak ingin melarang taksi online memperoleh BBM bersubsidi.
Menurut Aca, sapaan akrab Agus, pelarangan penggunaan BBM bersubsidi kepada para pekerja taksi online dapat menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Akan tetapi, taksi online dengan kelas luxury atau mewah tidak berhak untuk menggunakan BBM bersubsidi.
Ia berharap melalui revisi Perpres 191/2014 tersebut, Pemerintah dapat menyalurkan subsidi BBM tepat sasaran.
Subsidi energi
Gejolak harga minyak dunia, eskalasi konflik di Timur Tengah, hingga pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS membuat kompensasi dan anggaran subsidi BBM di dalam negeri membengkak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, sejauh ini, Pemerintah telah menggelontorkan dana senilai Rp155,7 triliun untuk subsidi dan kompensasi energi, di antaranya digunakan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 7,16 juta kiloliter dan LPG 3 kilogram sebanyak 3,36 juta kilogram.
Menkeu menyebutkan belanja untuk subsidi dan kompensasi energi, yang meningkat lantaran depresiasi nilai tukar rupiah, berdampak pada peningkatan belanja negara. Belanja negara pada semester I-2024 tercatat meningkat 11,3 persen tahun ke tahun (year on year/yoy) mencapai Rp1.398 triliun.
Selain itu, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengajukan kuota distribusi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite sebesar 31,33 juta KL–33,23 juta KL kepada Kementerian Keuangan untuk penyusunan RAPBN tahun anggaran 2025.
Batas atas dari proyeksi Pertalite tersebut sekitar 2 juta KL lebih tinggi dibandingkan dengan kuota APBN untuk penyaluran Pertalite pada 2024, yakni 31,704 juta KL, maupun kuota penyaluran Pertalite yang dialokasikan oleh BPH Migas sebesar 31,60 juta KL.
Dengan demikian, pembengkakan dapat terjadi pada subsidi dan kompensasi energi untuk tahun anggaran 2025.
Subsidi energi yang kian membengkak sejatinya menjadi pengingat bagi masyarakat untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi dampaknya, tidak hanya pembatasan penyaluran BBM bersubsidi, tetapi juga kenaikan harga BBM.
Kemungkinan tersebut tak dapat dimungkiri. Direktur Kebijakan Publik dari lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai bahwa realokasi subsidi harga BBM diperlukan untuk mengurangi beban fiskal yang diakibatkan oleh subsidi BBM.
Pada 2024, Pemerintah menetapkan target subsidi energi sebesar Rp189 triliun.
Anggaran tersebut seharusnya bisa digunakan untuk memperbaiki infrastruktur yang penting bagi pertumbuhan ekonomi, seperti pembangunan transportasi publik dan subsidi pendidikan dan kesehatan, alih-alih dialokasikan untuk menutupi defisit anggaran yang diakibatkan oleh subsidi BBM ini.
Oleh karena itu, Pemerintah perlu menerapkan beberapa langkah dalam melakukan realokasi subsidi BBM. Pertama, kebijakan tersebut harus dilakukan secara bertahap. Kedua, untuk meminimalisasi dampaknya, sebagian dana subsidi BBM harus dialokasikan untuk bantuan atau perlindungan sosial.
Di samping itu, perlu ada program untuk melindungi kelas menengah secara ekonomi, yang bisa berupa subsidi kesehatan, pendidikan, perumahan, hingga diskon dan dukungan untuk transportasi publik.
Dengan demikian, ruang fiskal dari subsidi BBM digunakan untuk mendorong ekonomi produktif dan jaring pengaman sosial, sekaligus menjaga daya beli, penerimaan pajak, dan struktur ekonomi makro secara umum.
Keputusan mengenai kenaikan harga BBM subsidi sangat sensitif dan berdampak besar bagi perekonomian masyarakat. Efek dari keputusan tersebut tak hanya terasa di lapisan atas, tetapi meresap hingga ke akar rumput.
Oleh karena itu, Pemerintah harus hati-hati dan cermat dalam memperhitungkan berbagai implikasinya sebelum menetapkan besaran subsidi energi.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024