Jakarta (ANTARA) - Indonesia pernah memiliki satu skuadron kapal selam kelas Whisky sebanyak 12 unit pada saat menjelang Operasi Trikora dalam rangka merebut Irian Barat (kini Papua) pada era 1960-an.

Sejalan dengan dinamika politik dan perekonomian Indonesia, era Whisky class berakhir sampai tahun 1990.

Pada tahun 1980,era pengadaan kapal-kapal laut baru dan TNI AL membeli 2 kapal selam U boat kelas 209, yaitu KRI Cakra 401 dan KRI Nanggala 402, kedua kapal ini sangat andal dan bertahan dengan usia lebih dari 40 tahun.

Pada tahun 2020 Indonesia melakukan pengadaan kapal selam kelas Nagapasa dari Korsel atau Changbogo class yang merupakan U boat class 209 modifikasi, sebanyak 3 unit dalam kerja sama alih teknologi, dimana 1 unit kapal dibangun di galangan PT. PAL Indonesia.

Kapal selam merupakan alutsista strategis yang punya peran penting bagi Angkatan Laut di seluruh dunia, termasuk Indonesia. TNI Angkatan Laut, dengan Komando Operasi Kapal Selam (Koopkasel) sebagai operator armada kapal selam di Indonesia selalu diupayakan dilengkapi dengan alutsista kapal selam dan pendukung operasionalnya.

Namun dalam proses sejarahnya, pengadaan dan kepemilikan kapal selam sejak tahun 1960-an sampai saat ini ada begitu banyak hal yang bisa menjadi pelajaran berarti.

Pelajaran itu, terutama dilihat dari aspek-aspek penting, antara lain kebijakan politik negara; pilihan teknologi; penyiapan SDM pengawak; hingga sistem pemeliharaan.

Pertama, kebijakan politik Indonesia yang bebas dan aktif serta doktrin pertahanan yang defensif aktif menjadikan Indonesia memiliki kebebasan dalam menentukan jumlah, jenis, dan tingkat kecanggihan teknologinya.

Hal yang selalu menjadi dilema adalah kesenjangan antara kebutuhan ideal dengan ketersediaan anggaran negara, yang pada akhirnya jatuh pada pilihan pengadaan dengan memanfaatkan pinjaman luar negeri dalam skema kredit ekspor (KE).

Hubungan politik luar negeri juga berpengaruh dalam pemilihan negara asal pembuat kapal, baik dari pandangan Indonesia maupun perspektif negara produsen.

Kedua, pilihan teknologi akan selalu menjadi dilema bagi Indonesia karena Indonesia belum memiliki galangan kapal yang memiliki desain teknologi masa depan yang murni buatan bangsa Indonesia. Saat ini masih dalam proses transformasi teknologi yang hampir 100 persen mengadopsi teknologi dari luar, tapi dibuat di Indonesia.

Kondisi ini tentu saja berimplikasi kepada kurangnya tingkat kerahasiaan dan kurang cocoknya produksi kapal selam tersebut bagi kondisi geografis maupun kecocokan bagi postur kru Indonesia.

Setiap pilihan teknologi tentu juga berdampak kepada penyiapan infrastruktur pendukung yang biayanya tidak kecil.

Sebagai contoh keberadaan fasilitas pengisian baterai yang disebut stasion bantu (sionban) disiapkan untuk pengisian dan pemeliharaan baterai kapal selam yang menggunakan baterai cair (acid battery), saat ini masih dapat dimanfaatkan untuk mendukung 4 kapal selam yang ada saat ini, yaitu KRI Cakra dan 3 kapal klas Nagapassa eks Korea Selatan, karena keempat kapal tersebut masih menggunakan baterai cair dengan ukuran sama.

Jika nantinya dua kapal selam Scorpene Evolved yang akan dibuat di PT PAL dengan energi lithium ion battery (LIB), maka tidak lagi memerlukan fasilitas sionban, namun diganti dengan stasiun pengisian semacam on shore LIB charger yang lebih sederhana dan murah.

Contoh lain adalah simulator kapal selam, baik untuk sistem penyelaman maupun olah gerak untuk taktis tempur, disiapkan untuk mendukung kapal selam tipe 209 buatan Jerman.

Maka untuk keperluan scorpene evolved buatan Prancis tentu diperlukan perubahan mendasar hardware dan software atau bahkan harus pengadaan baru.

Ketiga, penyiapan SDM kru kapal juga menjadi dilema dan tantangan pada setiap pilihan teknologi. Kru yang saat ini aktif di kapal dilatih sejak di sekolah kapal selam selama 9 bulan menggunakan doktrin dan pedoman pengoperasian dan teknis kapal selam U 209 dan tercermin dari kurikulum maupun tenaga pengajar yang sudah dipersiapkan.

Pilihan teknologi dengan pengadaan scorpene evolved tentu memerlukan redesain pendidikan dan pelatihan, kurikulum, dan penyiapan instruktur yang harus dilakukan sejak dini sebelum kapal selesai produksi.

Penyiapan SDM ini memerlukan rencana anggaran tersendiri di luar anggaran produksi kapal yang tidak sedikit. Anggaran penyiapan SDM yang tidak dijadikan satu paket dengan pengadaan kapal tentu akan menjadi dilema tersendiri.

Keempat, maintenance, repair, overhaul (MRO) atau istilah lama adalah planned maintenance system (PMS) selalu menjadi dilema dan tantangan pada setiap pengadaan alat utama sistem senjata (alutsistay) TNI.

Hal ini karena anggaran pengadaannya cenderung terbatas, bahkan harus dengan KE, namun tidak dibarengi anggaran untuk MRO, akibatnya alutsista yang baru dibeli dengan KE tersebut tingkat kesiapannya atau keandalannya tidak sesuai yang seharusnya.

Kondisi ini disebabkan praktik yang selama ini dilakukan, yakni pengadaan menggunakan anggaran KE, sedangkan MRO menggunakan dana APBN.

Idealnya anggaran MRO melekat dengan anggaran pengadaan agar jadwal MRO yang merupakan keharusan, sehingga usia kapal dan tingkat keandalan sesuai yang diproyeksikan.

Dapat disimpulkan, pengadaan kapal selam scorpene evolve memerlukan anggaran yang cukup, tidak hanya untuk produksi, namun juga untuk penyiapan sumber daya manusia melalui kebutuhan sarana prasarana pendukung dan MRO, paling tidak 5 tahun.

*) Dr. Adji Sularso adalah Submariner Club Indonesia

 

Copyright © ANTARA 2024