Depok (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Prof. Corina D. S. Riantoputra Ph.D mengatakan inovasi perlu dilakukan untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa yang semakin kompleks.

Masalah bangsa meliputi ekonomi, tingkat pendidikan, transformasi digital, masalah kesehatan mental, pengangguran terbuka, dan tantangan tata kelola semakin besar.

"Tantangan tersebut dapat dihadapi dengan tiga hal, yakni cara pikir out of the box, karakteristik individu yang inovatif, dan pemimpin yang mendorong inovasi," kata Prof. Corina D. S. Riantoputra di Kampus UI Depok, Jumat.

Kata ‘box’ dalam istilah “berpikir out of the box” adalah ruang alternatif ide yang dimiliki seseorang, yang dibatasi oleh berbagai hal, misalnya batasan hukum, disiplin ilmu, pendekatan, dan tradisi.

Baca juga: Guru Besar UI: Pencapaian SDGs butuh keseimbangan ekonomi dan ekologi

Jadi, berpikir out of the box adalah cara pikir yang keluar dari batasan-batasan sempit yang membuat ide yang dihasilkan adalah ide baru.

Cara pikir out of the box dapat dicapai melalui beberapa hal, antara lain keterbukaan terhadap disiplin ilmu lain (misalnya dalam bentuk pendekatan multi-disiplin, inter-disiplin dan trans-disiplin); kolaborasi antara akademisi dan praktisi; serta kolaborasi antargenerasi.

Tradisi atau standar industri juga perlu didiskusikan ulang. Sekalipun batasan yang membentuk “box cara piker” perlu dibuat lebih fleksibel, tetapi satu batasan tidak boleh fleksibel, yaitu batasan hukum.

Batasan hukum, moral, dan etis perlu dipertahankan tetap tegas.

Dalam melahirkan inovasi, individu yang inovatif juga memiliki peran penting. Individu ini memiliki tiga karakteristik, yaitu curiosity, courage, dan contributive goals.

Mereka yang memiliki curiosity (rasa ingin tahu) cenderung memiliki keingingan untuk belajar lebih banyak. Namun sayangnya, pendidikan di Indonesia terkadang membatasi rasa ingin tahu anak-anak.

The killing fields terjadi dengan pendidikan kita. Analoginya, ada lapangan dengan ranjau tersebar di mana-mana. Orang tidak melihat ranjaunya, tetapi mereka bisa tewas ketika menginjaknya. Itulah pendidikan kita. Anak-anak dimarahi ketika bertanya. Ketika jawaban tidak sesuai, mereka dibilang bego amat.

"Maka, tidak heran, ketika masuk kuliah, mereka tidak mampu lagi bertanya. Padahal, Claude Lévi-Strauss mengatakan, the wise man is not he who gives the right answers, he is the one who ask the right questions,” kata Prof. Corina.

Dalam berinovasi, individu harus miliki keberanian (courage). Ada dua hal yang membuat orang berani berbeda pendapat, yakni kepribadian openness to experience (orang-orang yang mau melakukan banyak hal) dan incentive.

Insentif ini tidak harus berupa finansial, tetapi juga non-finansial yang bermakna. Selain itu, individu inovatif harus memiliki contribute goals. Karena inovasi membutuhkan biaya mahal, peneliti atau anggota organisasi yang terlibat harus berfokus pada organisasi, bukan kepentingan pribadi.

Ide ketiga yang berperan penting dalam menumbuhkan inovasi adalah pemimpin yang mendorong inovasi. Dalam hal ini, pemimpin harus mampu melihat potensi dan tidak terkesima sekadar dengan gelar.

Pemimpin juga harus menyediakan ruang dan waktu diskusi “yang santai” agar ide-ide anggotanya dapat tertampung dengan baik. Ia harus membaca hambatan yang dihadapi organisasinya dan membangun kolaborasi dengan pihak eksternal untuk mengatasi hambatan tersebut.

"Dalam proses penciptaan inovasi, pasti ada kesalahan. Jika itu terjadi, pemimpin perlu berdiri di depan, berani bertanggung jawab. Ini akan menjadi contoh bagi anggota organisasinya, bahwa pemimpin dan anggota berjuang bersama. Ini adalah salah satu cara pemimpin membangun penghayatan ke-kita-an, sehingga pegawai merasa saya aman berjuang untuk organisasi ini," kata Prof. Corina.

Baca juga: Dewan Guru Besar UI: Ketahanan pangan penting untuk kedaulatan negara

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024