Jambi (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengkaji data dari European Commission selaku badan eksekutif di Uni Eropa yang menyatakan volume emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia 1,24 Gt CO2e atau setara 2,3 persen dari total emisi global pada tahun 2022.
Data tersebut dilaporkan European Commission (EC) dalam GHG Emissions of All World Countries 2023 yang sekaligus juga menyatakan peningkatan emisi GRK Indonesia capai 10 persen pada 2022 dibandingkan satu tahun sebelumnya.
“Kami harus tahu metodologi apa yang digunakannya (EC) sehingga dikatakan berkontribusi 2,3 persen, dan akan disandingkan dengan data dan metodologi yang kami lakukan,” kata Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Laksmi Dhewanthi menjawab pertanyaan wartawan usai peresmian menara gas rumah kaca terintegrasi di Stasiun Klimatologi Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Kamis.
Laksmi menjelaskan, Indonesia bukan penyumbang emisi terbesar salah satunya dibuktikan melalui emisi per kapita Indonesia yang jauh lebih kecil dibandingkan negara maju sehingga data EC tersebut tidak seutuhnya akurat.
Bahkan dalam hal ini, lanjutnya, emisi GRK Indonesia terus ditekan dan mengalami pengurangan dalam lima sektor meliputi Energi, Limbah, Proses industri dan penggunaan produk (IPPU), Agrikultur, dan FOLU atau forest and other land.
KLHK mencatat pengurangan emisi Indonesia mencapai 47,3 persen pada 2020, kemudian 43,8 persen pada 2021, dan 41,6 persen pada 2022 dibandingkan dengan baseline tahunan, yang berada di sekitar target NDC sebesar 43,2 persen dengan kerja sama internasional dan jauh melebihi target kapasitas nasional sebesar 31,89 persen.
Begitupun untuk tahun 2023 meski data masih dalam proses verifikasi yang dalam waktu dekat segera dipublikasikan tapi KHLK menyakini hasilnya akan berbanding lurus dengan capaian penurunan emisi tahun sebelumnya.
“Intervensi juga terus dilakukan termuat dalam RPJMN dan program yang ada, misalnya transisi energi ke yang lebih berkelanjutan, termasuk penghentian dini PLTU, penguatan sektor kehutanan demi meningkatkan serapan karbon, dan pengendalian sampah penghasil gas metana,” ujarnya.
Dalam upaya ini KLHK menambahkan unsur hidrofluorokarbon atau HFC yang secara umum diproduksi oleh alat pendingin ruangan itu ke dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) kedua untuk menekan emisinya dan menghapuskan penggunaannya mulai tahun ini.
Di samping itu, ia menegaskan, upaya pengendalian iklim juga semakin diperkuat dengan dukungan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang telah menginisiasikan pembangunan menara pemantau GRK dua dari enam unit menara yang ditargetkan.
Keberadaan menara pantau GRK tersebut penting dalam keakurasian kebijakan pengendalian iklim karena memiliki kemampuan untuk mengklasifikasikan level kadar karbon perusak ozon utama seperti karbondioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan hidrofluorokarbon.
"Data hasil pemantauan GRK itu juga dapat diakses dalam layanan iklim dan karbon KLHK supaya publik tahu lebih jelas kondisi sebenarnya," ujarnya.
Baca juga: KLHK: Indonesia berhasil kurangi emisi 875,7 juta ton CO2e
Baca juga: Studi tunjukkan pemanasan global capai 1,43 derajat Celcius pada 2023
Baca juga: KLHK luncurkan Zero Waste Zero Emission 2050 tekan emisi dari sampah
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024