Kita membutuhkan instrumen yang bisa mempengaruhi, meningkatkan keakurasian data GRK yang lebih komprehensif dalam upaya pengendalian iklim ini
Jambi (ANTARA) - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menilai upaya mengendalikan perubahan iklim yang telah menyebabkan suhu permukaan bumi lebih panas mesti didukung oleh penyediaan instrumen pengukuran gas rumah kaca (GRK) yang akurat.

“Kita membutuhkan instrumen yang bisa mempengaruhi, meningkatkan keakurasian data GRK yang lebih komprehensif dalam upaya pengendalian iklim ini,” kata Direktur Bidang Lingkungan Hidup Bappenas Priyanto Rohmatullah saat ditemui di Jambi, Kamis.

Priyanto menjelaskan bahwa instrumen tersebut salah satunya ialah seperangkat peralatan menara pemantau GRK yang penyediaannya secara khusus bakal dimasukkan dalam program strategis nasional 2025-2045.

Berdasarkan rencana strategis yang digagas Bappenas bersama Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setidaknya Indonesia membutuhkan sebanyak enam unit menara pantau GRK.

Dari jumlah menara pemantau GRK yang ditargetkan tersebut diketahui Indonesia sudah memiliki dua, masing-masing berlokasi di Kabupaten Agam Sumatera Barat dan Muaro Jambi, Jambi.

Menara pemantau GRK dari BMKG tersebut memiliki kemampuan untuk mengklasifikasikan kadar karbon penyumbang utama gas rumah kaca secara akurat, seperti karbondioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan klorofluorokarbon (CFC).

“Dari situ kita bisa tahu persis polutan apa yang perlu dikendalikan, misal mengistirahatkan sementara PLTU, dekarbonisasi pabrik semen yang sudah jalan, dan memasifkan energi baru terbarukan dengan targetnya cukup tinggi 70 persen,” ujarnya.

Menurut dia, GRK adalah faktor yang paling mempengaruhi perubahan iklim, dan berbanding lurus dengan dampak peningkatan suhu global yang telah mencapai 1,45 derajat Celcius pada tahun 2023, atau terpaut 0,05 derajat Celcius dari ambang batas 1,5 derajat yang disepakati dalam konferensi Paris Agreement 2015.

Kondisi itu pula yang telah mengakibatkan Indonesia beberapa tahun terakhir rentan mengalami bencana cuaca ekstrem, banjir, kekeringan secara merata.

Bahkan, ia menyebutkan peningkatan suhu ini sampai menenggelamkan sebuah desa di Kalimantan Selatan karena peningkatan ketinggian air pasang laut dan perhitungan Bappenas kerugian dampak perubahan iklim di Indonesia pada tahun 2021-2024 diperkirakan senilai Rp544 triliun.

Bappenas menilai fenomena ini tidak bisa dianggap sepele dan harus ada intervensi segera dalam hal ini melalui penyediaan instrumen pemantau GRK tadi untuk mendukung Indonesia maju 2045. “Soal pendanaan akan dibahas dengan Kementerian Keuangan sebab kami ingin peran BMKG seperti ini bisa lebih strategis,” ujarnya.

Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024