Obatnya hanya diperoleh dari WHO."
Palu (ANTARA News) - Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) Donggala, Sulawesi Tengah, meneliti kemungkinan penyebaran penyakit akibat cacing schistomiasis di Lemba Bada, Kabupaten Poso.
"Kami akan menurunkan tim khusus terdiri atas dua orang dari Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) dan empat dari Balai Penelitian Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2BN2) Donggala," kata Kepala Bidang Tehnis Konservasi BBTNLL, Ahmad Yani, di Palu, Sabtu.
Ia mengatakan, kerja sama dengan Dinas Kesehatan sudah berjalan beberapa tahun terakhir ini, dan semakin diintensifkan.
Dunia kesehatan mengenal cacing pipih Schistosoma bila masuk dalam tubuh manusia akan membuat pengidapnya mengalami gejala keracunan, disentri, penurunan berat badan sehingga kurus yang berlebihan, dan pembengkakan hati berakibat kematian.
Masalahnya, menurut Yani, beberapa desa di Kabupaten Sigi dan Poso merupakan lokasi penyebaran penyakit schistomiasis dan berada di sekitar maupun kawasan TNLL.
Ia mencontohkan, penduduk di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi dan Dataran Napu, Kecamatan Lore, Kabupaten Poso, sejak puluhan tahun silam ada yang terjangkit penyakit langka itu.
Wilayah-wilayah permukiman penduduk tersebut, dikemukakannya, sebagian masuk dalam kawasan TNLL, dan sebagian lagi di luar yang dekat kawasan konservasi sehingga perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Apalagi, ia mengemukakan, obat dari penyakit yang sejauh ini tercatat hanya ditemukan di Sulteng itu tidak ada dijual di pasaran atau apotik, karena harus dipesan ke organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO).
"Obatnya hanya diperoleh dari WHO," katanya.
Jadi, ia menyatakan, kalau ada orang yang mengidap penyakit yang disebabkan cacing schistosoma japonicum harus memesan obatnya dari WHO.
"Kami mendapat informasi kemungkinan adanya penyakit schistomiasis di Lembah Bada, Kabupaten Poso, karena itu tim dari Balai Penelitian dan Pengembangan P2B2 Donggala dalam beberapa hari ini akan turun ke desa itu bersama petugas TNLL," katanya.
Anis Nurwidayati dari Balai Penelitian dan Pengembangan P2B2 Dinas Kesehatan Donggala membenarkan melakukan survei sekaligus mengambil sampel di Desa Bada, Kabupaten Poso.
"Kita rencananya akan mengambil sampel dari binatang tikus dan keong yang ada di Lembah Bada," katanya.
Ia mengatakan, selama beberapa hari di sana, timnya akan menangkap beberapa tikus dan mengambil keong yang ada di lembah itu kemudian akan meneliti di laboratorium.
Tikus merupakan salah satu dari sekitar 13 jenis binatang yang rawan terserang cacing schistosomo japonicum. Selain tikus, menurut dia, cacing tersebut juga menyerang sapi, kuda, kambing dan kerbau.
Ia menjelaskan, ciri khas tikus yang terserang cacing schistisomo japonicum hatinya berwarna hitam, padahal yang sehat berwarna merah.
"Kalau manusia terserang penyakit schistomiasis, maka perutnya akan membuncit seperti orang hamil dan wajahnya pucat serta daya tahan tubuh terus berkurang sampai pada akhirnya jika terlambat diobati akan meninggal," katanya.
Tetapi, ia menambahkan, penderita penyakit itu bisa tertolong dengan obatnya cukup mahal yang tidak dijual di apotik umum, kecuali dipesan kusus langsung dari WHO. (*)
Pewarta: Anas Masa
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014