Jambi (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendirikan menara pemantau Gas Rumah Kaca (GRK) baru di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, untuk mendukung upaya pengendalian suhu permukaan bumi yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat dijumpai di Jambi, Kamis, mengatakan menara tersebut merupakan menara pemantau GRK kedua yang sudah dimiliki Indonesia, setelah sebelumnya pada 2023 dibangun di Bukit Kototabang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar).

BMKG menilai pendirian menara pemantau GRK setinggi 100 meter tersebut sangat penting dalam upaya mengendalikan perubahan iklim yang membawa peningkatan suhu permukaan bumi secara drastis dalam beberapa tahun terakhir.

Baca juga: Kepala BMKG: Peningkatan emisi gas rumah kaca dapat memicu krisis air

Peningkatan tersebut dapat diketahui berdasarkan kajian Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) tahun lalu, yang sejak tahun 1970 sampai dengan 2023 didapati lonjakan suhu permukaan bumi hingga 1,45 derajat Celsius.

Tingkat kenaikan suhu global dari WMO tersebut hanya terpaut 0,05 derajat dari ambang batas peningkatan suhu permukaan yang disepakati negara-negara dunia, termasuk Indonesia, dalam konferensi Paris Agreement pada 2015 yakni setinggi 1,5 derajat Celsius.

"1,45 derajat itu peningkatan yang lebih cepat, bahkan melampaui masa revolusi industri Inggris (1730-1800 an)," kata dia.

Baca juga: Sistem informasi GRK, partisipasi Indonesia kendalikan perubahan iklim
 
Menara Pemantau Gas Rumah Kaca di Stasiun Klimatologi Muaro Jambi, Jambi, yang pada Kamis (18/7/2024) diresmikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, Direktur Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dewanti, Direktur Bidang Lingkungan Hidup Bappenas Priyanto Rohmatullah dan Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Jambi Arif Munandar. (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo)


Oleh karena itu BMKG menilai dibutuhkan menara pantau GRK yang memiliki kemampuan untuk mengklasifikasikan kadar karbon penyumbang utama GRK itu, seperti karbondioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan klorofluorokarbon (CFC).

Data klasifikasi yang terekam pada menara BMKG itu, kata dia, selanjutnya akan di komparasi dengan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian PPN/Bappenas untuk dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengintervensi kebijakan pembangunan jangka menengah pengendalian iklim.

Ia mencontohkan seperti pengetatan izin industri berbahan bakar batubara (mineral), moda transportasi, dan sumber polutan lainnya, yang secara domestik juga berimplikasi pada peningkatan suhu maksimum di Indonesia hingga mencapai 39,4 derajat Celcius pada tahun 2023.

Baca juga: Jokowi sebut krisis pangan sebagai dampak nyata perubahan iklim

BMKG memproyeksikan setelah Sumatera Barat dan Jambi masih ada enam daerah lain yang akan dibangun menara pemantau GRK tersebut, salah satunya Sumatera Selatan.

Hal ini mengacu pada indeks kerentanan daerah-daerah itu mengalami perubahan iklim, seperti yang akibatkan oleh tingginya kegiatan pembukaan lahan dan kepadatan mobilitas.

"Intinya semua ini adalah wujud komitmen pemerintah mempertahankan peningkatan suhu tidak lebih dari 0,05 derajat dari ambang batas tadi. Kalau tidak berhasil mempertahankannya maka suhu kita jadi sangat panas diproyeksikan pada 2050 menyentuh 3 derajat Celcius dan menghadapkan kita pada kondisi krisis pangan yang luar biasa," ujarnya.

Baca juga: Kepala BMKG dorong kolaborasi negara ASEAN antisipasi krisis pangan
Baca juga: BRIN: Optimalkan pangan lokal guna atasi krisis pangan akibat iklim

Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024