"Tanggal 21 Februari sejak 1999 ditetapkan oleh UNESCO sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional dan secara resmi pertama kali diperingati pada tahun 2000," kata Ketua Harian KNIU Arief Rachman di Gedung Kemdikbud di Jakarta, Jumat.
Acara tersebut digelar bekerja sama dengan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (UNESCO), Kedutaan Besar Bangladesh di Jakarta dan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU).
Peringatan ke-14 HBII memilih tema "Bahasa Lokal untuk Kewarganegaraan Global: Titik Terang Ilmu Pengetahuan" untuk menekankan peran penting bahasa lokal sebagai pengantar menuju ilmu pengetahuan, demikian dikatakan Direktur Kantor Perwakilan UNESCO Jakarta Hubert J. Gijzen.
Hubert juga menyebutkan besarnya peran bahasa lokal sebagai pengantar menuju ilmu pengetahuan sebagai salah satu dari dua aspek utama yang berusaha dipromosikan UNESCO melalui perayaan HBII 2014.
"HBII 2014 memiliki dua tujuan utama, yaitu yang pertama mempromosikan persatuan dalam keberagaman serta mendorong pemahaman tingkat internasional, multilingualisme (kecakapan menuturkan banyak bahasa, -red) dan multikulturalisme. Kemudian kedua, untuk mempromosikan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar bagi pendidikan di tingkat dasar," katanya.
"Sejumlah penelitian mendukung hipotesa bahwa ilmu pengetahuan di usia dini dapat lebih mudah diajarkan atau ditangkap oleh para siswa, apabila disampaikan dengan bahasa lokal mereka, bahasa yang mereka gunakan dalam percakapan keseharian," ujar Hubert menambahkan.
Sementara Duta Besar Bangladesh untuk Indonesia Nazmul Quaunine menuturkan sejarah dipilihnya tanggal 21 Februari sebagai HBII.
"Pada 21 Februari 1952, kala itu Bangladesh masih menjadi bagian wilayah Pakistan, para mahasiswa Bengali dari Universtias Dhaka melakukan unjuk rasa bersama masyarakat atas keputusan pemerintah menetapkan Bahasa Urdu sebagai satu-satunya bahasa resmi di Pakistan," kata Nazmul.
Massa pengunjuk rasa, yang mayoritas berasal dari Suku Bengali, meminta pengakuan atas keberadaan Bahasa Bengali dan ditetapkan sebagai salah satu bahasa resmi di Pakistan.
Akibat unjuk rasa tersebut sedikitnya lima nyawa menjadi korban termasuk tiga mahasiswa namun paska peristiwa itu Bahasa Bengali menjadi salah satu bahasa resmi Pakistan.
"Semenjak itu 21 Februari diperingati sebagai Hari Ekhushy untuk mengingat jasa para korban dan tradisi itu terus berlanjut setelah Bangladesh memisahkan diri dari Pakistan pada 1971 silam," ujarnya.
Hari Ekhushy kemudian diadopsi UNESCO sebagai HBII pada 1999, dengan pedoman pada tanggal itu terjadi peristiwa yang memperlihatkan kegigihan warga Bengali mempertahankan keberadaan bahasa ibu mereka.
Pada rangkaian acara peringatan HBII 2014 juga digelar dua diskusi panel terkait Kebijakan Bahasa dan Kurikulum 2013 dan Pelestarian Bahasa Ibu di Indonesia yang menampilkan Kepala Badan Pengembangan dan Pelindungan Bahasa, Badan Bahasa Kemdikbud, Sugiyono serta Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Bahasa Universitas Indonesia Multamia RMT Lauder.
Selain itu terdapat juga pertunjukan pembacaan puisi yang menggunakan bahasa lokal dari Banjar, Toraja, dan Maluku Utara, penampilan Mocopat dan lagu berbahasa Bengali dari perwakilan Bangladesh.
Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014