Jakarta (ANTARA News) - Suasana sebuah kelas tiba-tiba tercekat oleh sederet kata-kata dalam kalimat tanya dari guru kepada murid, adakah dan bagaimana mencari untuk menemukan warta mencerahkan dari peristiwa Gunung Kelud meletus di Timur?

Tidak ingin lekas-lekas terjerambab untuk langsung menjadikan berita-berita seputar Gunung Kelud meletus sebagai obyek penderita, justru peristiwa yang terjadi pada Kamis malam (13/2/2014) itu sejatinya memantik era fajar budi bagi mereka yang menyongsong masa pencerahan atau Aufklarung di era kontemporer.

Tidak ingin bersikap layaknya tuan-tuan dan puan-puan "conquistadores" Spanyol yang cenderung mengagung-agungkan jargon bahwa wawasan budaya kami lebih unggul dari budaya anda, maka peristiwa letusan Gunung Kelud terpapar ke hadapan seluruh warga sebagai ajakan berbela rasa.

Masih ada harapan, itu warta bela rasa bagi para korban letusan Gunung Kelud. Buktinya, sejak Selasa (18/2), warga sudah kembali menyambangi permukimannya masing-masing untuk mulai membersihkan lingkungan dari material vulkanik Gunung Kelud.

Aksi bela rasa terus berdatangan dari mereka yang tergerak oleh semangat Jaman Pencerahan, Masa Fajar Budi, "Enlightenment", karena mereka tersentuh oleh adanya problem yang diakibatkan oleh letusan Gunung Kelud. Problem berasal dari kata Yunani, "probalo" yang artinya melempar di hadapan.

Terdampak oleh letusan Gunung Kelud di perbatasan Kabupaten Kediri, Malang, dan Blitar, berbondong-bondong warga yang tercerahkan berbela rasa tergerak karena ada problem kemanusiaan yang terlempar di hadapan mereka.

Di Kediri, 7.832 hektar lahan pertanian porakporanda, mencakup tanaman pangan dan hortikultura, dari tanaman pangan, padi dan jagung, termasuk tomat, bawang, terong, kacang panjang, timun, buncis, ubi jalar, ubi kayu, bungkul, nanas, pisang, durian, cabai kecil, dan cabai besar.

Di Kabupaten Bantul, sekitar sekitar 65.550 benih ikan kedapatan mati akibat air kolam terkontaminasi abu vulkanis gunung Kelud. Hal serupa juga dialami petani di Kabupaten Gunungkidul dan Sleman.

Di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, para petani cabai terancam bangkrut, karena merugi Rp67 miliar. Luas lahan tanaman cabe yang rusak di Kabupaten Kediri mencapai 3.218 hektar. Untuk tanaman cabai kecil, nilai kerugian mencapai Rp46,160 miliar, sedangkan kerugian cabai besar mencapai Rp 21,960 miliar.

Selain itu, 394 unit sekolah dan ratusan mengalami kerusakan. Sekitar 357 warga mendapatkan perawatan medis, dan tiga di antaranya meninggal dunia akibat dampak tidak langsung dari erupsi gunung Kelud di Kediri, Jawa Timur.

Data yang dihimpun Kompas.com, dari tiga rumah sakit besar di Kediri, para pasien itu mulai berdatangan sejak Jumat (14/2) hingga Kamis (20/2). Para pasien itu dirawat karena jatuh dari atap atau mengalami kecelakaan akibat licinnya jalanan karena terdampak abu vulkanis.

Setelah menyaksikan dampak letusan Gunung Kelud, mereka yang tercerahkan lantas menemukan makna kebenaran sesuai amanat Masa Pencerahan dengan mengulurkan bantuan. Tanpa memandang asal dari golongan mana, bala bantuan berdatangan.

Inilah warisan dari Masa Pencerahan abad 17 bahwa kebenaran tidak memandang latar belakang tradisi, dan ajaran agama.

Masa Pencerahan mengkampanyekan, mengumandangkan, dan menggelorakan gerakan anti-keseragaman. Mereka dengan caranya masing-masing, jauh dari keseragaman. bahu membahu memberi bantuan kepada para korban letusan Gunung Kelud. Mereka hanya seragam dalam bela rasa kebersamaan, bukan rasa yang tersekat-sekat.

Para petani dari Kabupaten Magelang menunjukkan bela rasa terhadap korban erupsi gunung Kelud. Setidaknya, ada 10 truk berisi sayuran dan beras dikirim ke lokasi pengungsian di Kediri, Jawa Timur.

Para petani itu berasal dari Kecamatan Sawangan, Dukun dan Pakis. Bantuan dikirim langsung dari Pendopo Pemerintah Kabupaten Magelang, Kamis.

"Bantuan ini merupakan kepedulian masyarakat dan pemerintah Kabupaten Magelang terhadap korban erupsi Gunung Kelud beberapa waktu yang lalu," kata Plt Sekretaris Daerah Pemkab Magelang, Agung Trijaya, Kamis.

Rumus Masa Pencerahan ketika dihadapkan dengan kasus kemanusiaan akibat letusan Gunung Kelud yakni beranilah mengetahui (sapere aude).

Berbekal keberanian untuk mengetahui yang tercerahkan dan yang benar itulah, warga tergerak memberi bantuan. Mereka tidak ingin terperangkap kepada sekat-sekat golongan tertentu, karena semuanya itu hakekatnya takhyul belaka. Hati mereka tercerahkan.

Salah satu wujud dari rasio yang tercerahkan yakni bantuan dari Sultan Hamengkubuwono X yang juga adalah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia menyambangi dengan mengantar bantuan bagi korban letusan Gunung Kelud di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Kamis (20/2).

Mereka yang dari Yogyakarta membawa dan memberi mi instan, dan barang kebutuhan wanita dan anak-anak. Bantuan itu diangkut menggunakan 14 truk. Dari belasan truk itu, dua di antaranya mengangkut kayu reng bagi pembangunan rumah yang rusak.

Sementara, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengungkapkan sikap kritis khas Masa Pencerahan dengan siap menggelontorkan dana sebanyak Rp100 miliar dari APBD 2014, untuk perbaikan wilayah terdampak letusan Gunung Kelud. Dana segera dikucurkan begitu pendataan kerusakan rampung.

"Kami targetkan selama dua pekan, harus selesai direalisasikan dan dikerjakan," kata Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, Kamis. Dia mengatakan pendataan mencakup kerusakan rumah, fasilitas pendidikan, dan fasilitas umum lainnya.

Yang mencerahkan setelah meletusnya Gunung Kelud menyasar kepada toleransi, artinya semua manusia hendaknya tidak membeda-bedakan keyakinan etis dan agama. Toleransi juga berarti bahwa orang tidak boleh memaksakan pandangan dan keyakinan pribadinya.

Toleransi kepada para korban letusan Gunung Kelud disemangati oleh apa yang dikatakan oleh filosof Descartes bahwa "Cogito ergo sum", yang artinya saya berpikir, maka saya ada.

Di mata salah satu tokoh Masa Pencerahan itu, kebenaran mengerucut kepada ide yang jelas dan tegas (clare et distincte), artinya akal budi manusia dapat menemukan kebenaran bahkan tanpa menggunakan kontak dengan indera.

Dalam kasus Gunung Kelud yang meletus, akal budi menggerakkan rasa kemanusiaan untuk menolong para korban dari mereka yang terdampak.

Pokok utamanya adalah manusia, sebagaimana disebut-sebut dan disepakati oleh filosof Yunani kuno bahwa manusia adalah ukuran segalanya. Ini tercetus lantaran orang Romawi waktu itu terlalu memusatkan perhatiannya kepada masalah hukum dan pemerintahan.

Intinya, pakailah logika, bukan rasa suka-tidak suka!

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2014