Jakarta (ANTARA) - PT Pupuk Indonesia (Persero) berharap adanya penyederhanaan proses penagihan pupuk subsidi demi mengurangi beban bunga yang timbul akibat keterlambatan pembayaran tagihan.

"Karena overly regulated ini, banyak sekali regulated cost, misalnya dari sisi rumitnya penagihan pupuk subsidi. Itu mengakibatkan biaya bunga yang tidak kecil," kata Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Rahmad Pribadi di sela Focus Group Discussion (FGD) 'Membangun Sistem Kebijakan Pupuk Subsidi yang Lebih Adaptif dan Efektif Demi Menjaga Ketahanan Pangan Nasional' yang digelar di Jakarta, Rabu.

Rahmad menjelaskan bahwa kondisi overly regulated dalam regulasi pupuk subsidi mengakibatkan biaya yang signifikan, terutama terkait dengan proses rumit dalam penagihan tagihan.

Menurut dia, biaya bunga yang tidak kecil telah menjadi dampak langsung dari ketidakmudahan dalam proses tersebut.

Menurut Rahmad, proses distribusi pupuk subsidi dari awal penyaluran hingga surat perintah pencairan dana bisa memakan waktu hingga lima bulan. Hal ini mengakibatkan biaya bunga yang mencapai triliunan rupiah per tahun.

"Maka dari proses pertama penyaluran hingga terbitnya surat perintah pencairan dana itu kira-kira lima bulan, kita sudah hitung dari sisi ini saja, bunganya itu triliunan per tahun," tuturnya.

Rahmad menegaskan bahwa penyederhanaan proses penagihan akan membawa manfaat signifikan, terutama dalam menghemat uang negara secara keseluruhan.

"Kalau ini bisa disederhanakan tentu ini akan menghemat uang negara," jelas Rahmad.

Baca juga: Pupuk Indonesia: 62 persen pupuk dorong produktivitas pertanian

Baca juga: Pakar tekankan pendataan akurat dalam skema bantuan langsung petani


Sebelumnya, PT Pupuk Indonesia (Persero) merancang 13 usulan terkait kebijakan pupuk subsidi dari hulu hingga hilir bagi pemerintahan baru, sehingga bisa lebih efektif ke depannya dalam meningkatkan produktivitas pertanian Indonesia menuju swasembada pangan.

Sebanyak 13 usulan Pupuk Indonesia untuk perbaikan kebijakan pupuk bersubsidi dari produksi hingga penagihan, yakni pertama penegasan tujuan dan sasaran subsidi pupuk, kedua pemutakhiran data kebutuhan pupuk secara berkelanjutan.

Ketiga, penganggaran berbasis kebutuhan; keempat penggunaan harga indeks pasar untuk pembentukan nilai subsidi; kelima alokasi individu oleh KPA, bukan pemerintah kabupaten/kota; keenam jaminan pasokan gas untuk produksi pupuk demi ketahanan pangan; ketujuh kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) jangka panjang untuk produksi pupuk.

Kedelapan, BUMN pupuk menjamin pasokan kebutuhan pupuk bersubsidi nasional, penentuan stok nasional, izin ekspor dipermudah; kesembilan skema penyaluran melalui distributor/kios atau langsung ke petani; ke-10 pengaturan gudang yang dinamis dan efisien.

Ke-11 yakni audit HPP per tiga bulan, audit per tahun, audit kebutuhan pupuk per tiga tahun; ke-12 pembayaran piutang subsidi paling lambat satu tahun anggaran; dan ke-13 digitalisasi integrasi.

"Kami melakukan transformasi pupuk subsidi mumpung akan ada pemerintahan baru, di mana pemerintah yang sekarang juga sangat fokus dan pemerintah yang akan datang juga akan fokus dengan ketahanan pangan," kata Rahmad.

Pemerintah telah menetapkan alokasi subsidi pupuk secara nasional naik menjadi 9,55 juta ton atau meningkat dua kali lipat dari yang sebelumnya 4,7 juta ton di tahun 2024.

Penambahan alokasi subsidi pupuk ini tertuang pada Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 249 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 01 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Permentan Nomor 10 Tahun 2022.

Baca juga: Pupuk Indonesia usul 13 perbaikan kebijakan pupuk subsidi hulu-hilir

Baca juga: Pemerintah: Subsidi pupuk organik antisipasi dampak perubahan iklim


Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024