Washington (ANTARA) - Dana Moneter Internasional (IMF) pada Selasa (16/7) merevisi proyeksinya terkait pertumbuhan ekonomi China pada 2024 menjadi 5 persen, naik dari prediksi 4,6 persen pada April 2024, dalam sebuah pembaruan laporan World Economic Outlook (WEO) lembaga tersebut.
Revisi itu terutama dikaitkan dengan rebound konsumsi swasta dan kuatnya ekspor pada kuartal pertama 2024, menurut pembaruan tersebut.
"Di China, bangkitnya kembali konsumsi domestik mendorong kenaikan positif pada kuartal pertama, ditopang oleh apa yang dipandang sebagai lonjakan sementara dalam ekspor yang lambat, kembali berkaitan dengan meningkatnya permintaan global tahun lalu," kata laporan tersebut.
IMF tidak mengubah proyeksinya terkait pertumbuhan global pada 2024 di angka 3,2 persen, sembari menyatakan bahwa perekonomian emerging market di Asia masih menjadi mesin utama bagi ekonomi global.
Aktivitas global dan perdagangan dunia menguat pada pergantian tahun ini, dengan perdagangan didorong oleh ekspor yang kuat dari Asia, terutama di sektor teknologi, papar pembaruan WEO tersebut.
Volume perdagangan dunia diperkirakan akan tumbuh 3,1 persen pada 2024 dan 3,4 persen pada 2025, masing-masing 0,1 poin persentase lebih tinggi dari proyeksi April.
"Perekonomian emerging market di Asia masih menjadi mesin utama bagi ekonomi global. Pertumbuhan di India dan China direvisi naik dan menyumbang hampir separuh pertumbuhan global," tutur Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas dalam sebuah blog.
Revisi untuk prediksi pertumbuhan China tersebut diumumkan oleh Wakil Pertama Direktur Pelaksana IMF Gita Gopinath pada akhir Mei, dalam sebuah konferensi pers di Beijing setelah rampungnya Konsultasi Pasal IV 2024 tim IMF untuk China.
Pembaruan itu juga menyatakan bahwa momentum disinflasi global sedang melambat, menandakan adanya guncangan di sepanjang jalurnya.
"Risiko meningkatnya inflasi kian menguat, mendorong prospek suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, dalam konteks eskalasi ketegangan perdagangan dan ketidakpastian kebijakan yang meningkat," imbuh laporan tersebut.
"Tantangan lebih lanjut terkait disinflasi pada perekonomian maju dapat memaksa bank sentral, termasuk Federal Reserve, untuk mempertahankan biaya pinjaman yang lebih tinggi untuk waktu yang jauh lebih lama. Hal itu akan membahayakan pertumbuhan secara keseluruhan, dengan meningkatnya tekanan ke atas terhadap dolar AS dan efek limpahan (spillover) yang merugikan bagi perekonomian emerging dan berkembang," ujar Gourinchas.
Lebih lanjut kepala ekonom IMF tersebut menuturkan sungguh "mengkhawatirkan" bila negara seperti Amerika Serikat (AS) mempertahankan sikap fiskal yang mendorong rasio utangnya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi lebih tinggi, dengan adanya peningkatan risiko dalam ekonomi dalam negeri maupun global. "Meningkatnya ketergantungan AS terhadap pendanaan jangka pendek juga mengkhawatirkan," imbuhnya.
Pewarta: Xinhua
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2024