Jakarta (ANTARA) - Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) berkomitmen untuk meningkatkan perawatan hemofilia di Indonesia, mulai dari diagnosis dini hingga pengobatan dan rehabilitasi.
"Bagi kami, sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan serta kapasitas dari para tenaga kesehatan di Indonesia mengenai diagnosis dan dan tatalaksana hemofilia yang komprehensif, serta melibatkan multidisiplin," kata Ketua ad interim HMHI, Dr dr Novie Amelia Chozie, SpA(K) dalam siaran pers pada Rabu.
Pada saat yang sama, HMHI terus mengedukasi masyarakat dan pasien untuk lebih waspada terhadap gejala-gejala hemofilia.
Baca juga: Dinkes Kota Tangerang sosialisasikan pencegahan risiko hemofilia
HMHI menjelaskan beberapa contoh gejala hemofilia yang patut diperhatikan adalah seperti cenderung mudah mengalami memar di permukaan kulit, perdarahan yang sulit berhenti, terdapat darah pada urin dan feses.
"Semakin cepat hemofilia didiagnosis dan ditangani, semakin optimal pengobatan yang dapat diberikan," kata dr Novie.
Hemofilia adalah suatu kondisi di mana perdarahan sulit berhenti. Pada kondisi yang lebih berat, pasien hemofilia dapat mengalami perdarahan spontan (perdarahan yang terjadi tanpa diketahui penyebab jelasnya) serta perdarahan setelah cedera atau pembedahan.
Baca juga: Pasien hemofilia perlu olahraga santai guna hindari pendarahan
Kebanyakan pasien hemofilia adalah laki-laki. Diperkirakan terdapat sekitar 400.000 penderita hemofilia di seluruh dunia. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 27.000 pasien hemofilia. Namun, sampai dengan tahun 2021, hanya sekitar 3.000 pasien yang terdiagnosis dan tercatat dalam Annual Report 2021 oleh World Federation of Haemophilia.
Dia menekankan bahwa penanganan pasien hemofilia di Indonesia masih belum optimal.
"Hemofilia di Indonesia masih tergolong kurang terdiagnosis (underdiagnosed), dan biasanya pasien cenderung baru didiagnosis setelah terjadi perdarahan berat, yang tentunya berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi kecacatan bahkan kematian".
Baca juga: HMHI dorong peningkatan kesadaran tentang hemofilia di Indonesia
Saat ini, Indonesia baru mampu mendiagnosa sekitar 11 persen penyandang hemofilia. Banyaknya tantangan dalam hal diagnosis dan tata laksana hemofilia tentunya berdampak terhadap terjadinya komplikasi dan perburukan kualitas hidup pasien, kata dr Novie.
Salah satu komplikasi berat yang dapat terjadi adalah terbentuknya inhibitor. Inhibitor dapat meningkatkan risiko perdarahan serius serta kelainan sendi yang progresif.
Baca juga: Penanganan hemofilia dengan terapi profilaksis dinilai lebih efektif
Berdasarkan data penelitian inhibitor di Indonesia tahun 2022, prevalensi inhibitor pada pasien hemofilia anak di Indonesia adalah 9,6 persen. Ini menunjukkan bahwa kita perlu memperbaiki sistem penanganan hemofilia untuk mengurangi risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi serta meningkatkan kualitas hidup pasien, baik untuk pasien hemofilia dengan atau tanpa inhibitor.
HMHI baru saja menggelar Kongres Nasional (KONAS) ke-7 pada tanggal 13-14 Juli 2024. Itu merupakan acara tiga tahunan yang menjadi langkah penting dalam upaya meningkatkan tatalaksana hemofilia di Indonesia. Tahun ini KONAS HMHI mengangkat tema "Equitable Access for Improving Diagnosis and Optimal Hemophilia Care and Other Bleeding Disorders in Indonesia".
Baca juga: Mencegah pendarahan aspek penting tanggulangi hemofilia
Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2024