Jakarta (ANTARA News) - Direktur The Wahid Institute, Yenny Abdurrahman Wahid, menegaskan bahwa ayahnya tak pernah terlibat lobi dengan kongres AS terkait embargo senjata bagi TNI dan menyayangkan penggunaan nama yayasan Gus Dur (Gus Dur Foundation/GDF) untuk bekerjasama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) menyewa sebuah perusahaan lobi di Washington guna mendesak AS mencabut embargo itu.
"Gus Dur sendiri tidak tahu GDF digunakan untuk itu. Jangankan menandatangani, bentuk dan isi perjanjiannya seperti apa juga tidak tahu," kata Yenny kepada pers di Jakarta, Senin.
Kasus itu, kata Yenny, berawal dari pembicaraan antara Gus Dur dengan pejabat BIN, M As`ad, dalam kapasitas pribadi.
Sebagai sesama orang NU, katanya, antara Gus Dur dan As`ad saling kenal.
Pada satu kesempatan, As`ad pernah mengatakan pada Gus Dur untuk meminjam namanya demi kepentingan bangsa dan Gus Dur pun tidak keberatan.
Tapi, kata Yenny, saat itu As`ad tidak menjelaskan untuk kepentingan apa nama Gus Dur yang disebut As`ad masih diperhitungkan orang-orang AS untuk digunakan.
"Jadi itu pembicaraan antar pribadi dan bukan atas nama lembaga. Kalau Pak As`ad datang sebagai institusi BIN, tentu Gus Dur tidak akan memberi ijin," katanya.
Yenny menegaskan, secara legal formal tidak ada hubungan apapun antara Gus Dur maupun sejumlah organisasi dan instansi BIN, termasuk The Wahid Institute.
Terkait pemberitaan di salah satu media massa, Yenny mengaku pihaknya juga terkejut dengan adanya berita itu dan tidak menyangka pembicaraan antara Gus Dur dengan As`ad saat itu berbuntut pada lobi terkait embargo senjata AS terhadap RI.
"Sebenarnya lobi itu boleh-boleh saja. Tapi, mestinya dari awal, kami diberi tahu termasuk dengan segala konsekuensinya," katanya.
Pemberitaan itu, kata Yenny, secara tidak langsung merugikan Gus Dur maupun yayasan yang menggunakan namanya.
"Kita sesalkan, karena seolah-olah Gus Dur itu anteknya BIN," katanya.
Satu media massa nasional dalam berita utamanya menyebutkan bahwa intelijen menggunakan yayasan Gus Dur untuk melobi AS guna membuka embargo militer, dan biaya lobi itu mencapai Rp270 juta per bulan. (*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006