Jakarta (ANTARA) - Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar membantah jika dirinya pernah mengintervensi atau mengarahkan pengadaan pesawat untuk keuntungan pihak mana pun, selain Garuda.

Menurut dia, keputusan pengadaan selalu diambil Dewan Direksi secara kolegial berdasarkan usulan tim dalam forum rapat resmi, serta dengan persetujuan Dewan Komisaris seiring dengan komitmen untuk membesarkan Garuda.

"Semua proses pengadaan yang terjadi pada saat saya menjabat sebagai Dirut Garuda dilakukan secara prosedural dan bertahap, khususnya dalam pengadaan Pesawat Bombardier CRJ1000," kata Emirsyah saat membacakan pembelaan (pleidoi) dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu.

Maka dari itu, ia menilai tidak benar apabila proses pengadaan Pesawat CRJ1000 dan ATR 72-600 sudah merugikan Garuda karena inefisiensi.

Sebaliknya, lanjut dia, seluruh proses pengadaan yang dilakukan justru membuat Garuda selalu mendapatkan harga yang lebih murah dan keuntungan, sehingga dapat dipastikan tidak ada kerugian negara dalam kasus tersebut.

Mengenai tidak-adanya intervensi dirinya dalam pengadaan pesawat, Emirsyah menuturkan keterangan tersebut sudah diungkapkan para saksi di persidangan.

Terkait dakwaan mengenai perubahan kriteria penilaian pengadaan tidak dilakukan dalam rapat direksi, dirinya menilai hal tersebut tidak benar karena semua direksi sudah setuju dan tidak ada yang menyatakan perbedaan pendapat ketika pembahasan kriteria pemenang maupun penentuan pemenangnya.

"Lantas, di bagian mana yang katanya saya dituduh mempengaruhi proses pemilihan pemenang?" tuturnya.

Sebelumnya, Emirsyah dituntut pidana delapan tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider pidana kurungan selama enam bulan dalam kasus pengadaan pesawat di Garuda Indonesia.

Ia juga dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar 86,36 juta dolar Amerika Serikat (AS) subsider penjara selama 4 tahun.

Menurut jaksa, Emirsyah Satar terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama, melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo.Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam perkara tersebut, Emirsyah didakwa terbukti secara tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (fleet plan) Garuda Indonesia kepada mantan Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo yang juga duduk sebagai terdakwa.

Rencana pengadaan armada yang merupakan rahasia perusahaan tersebut kemudian diserahkan kepada pabrikan Bombardier.

Emirsyah dinilai terbukti mengubah rencana kebutuhan pengadaan pesawat dari 70 kursi menjadi 90 kursi, tanpa terlebih dahulu ditetapkan dalam rencana jangka panjang perusahaan.

Ia juga diyakini memerintahkan bawahannya untuk mengubah kriteria pemilihan dalam pengadaan pesawat di Garuda Indonesia tanpa persetujuan dari dewan direksi.

Emirsyah pun dinilai jaksa telah terbukti bersekongkol dengan Soetikno selaku penasihat komersial Bombardier dan Avions De Transport Regional (ATR) untuk memenangkan Bombardier dan ATR dalam pemilihan pengadaan pesawat di Garuda Indonesia.

Padahal, pesawat jenis Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 tidak sesuai dengan konsep bisnis Garuda Indonesia yang menyediakan pelayanan penuh.

Perbuatan Emirsyah Satar tersebut didakwa mengakibatkan kerugian keuangan negara pada Garuda Indonesia dengan jumlah total 609,81 juta dolar AS.

Ini bukan kali pertama Emirsyah diadili di meja hijau. Sebelumnya, Emirsyah Satar telah divonis dalam perkara berbeda.

Pada 8 Mei 2020, Dirut PT Garuda Indonesia 2005–2014 itu divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan serta dihukum membayar uang pengganti sebesar 2,11 juta dolar Singapura.

Vonis tersebut sebagai akibat Emirsyah yang telah terbukti menerima suap senilai Rp49,3 miliar dan pencucian uang sebesar Rp87,464 miliar.

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024