Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan kembali mempertahankan BI-Rate tetap di level 6,25 persen mempertimbangkan ketidakpastian global dan domestik
Jakarta (ANTARA) -
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan BI-Rate akan tetap di level 6,25 persen di tengah ketidakpastian global dan inflasi domestik yang terkendali.
 
"Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan kembali mempertahankan BI-Rate tetap di level 6,25 persen mempertimbangkan ketidakpastian global dan domestik yang sedang berlangsung, meskipun indikator-indikator ekonomi Amerika Serikat menunjukkan pelemahan," kata Josua kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
 
Di dalam negeri, tingkat inflasi Indonesia cenderung terkendali karena peningkatan pasokan pangan setelah musim panen raya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Harga Konsumen (IHK) secara tahunan menurun menjadi 2,51 persen year on year (yoy) dari realisasi bulan sebelumnya sebesar 2,84 persen (yoy).
 
Selain itu, neraca perdagangan Indonesia terus mencatat surplus, meskipun menyempit, sehingga mendorong berlanjutnya defisit neraca transaksi berjalan (CAD) meskipun masih dalam level yang terkendali. Faktor-faktor itu berkontribusi pada stabilitas ekonomi.
 
Namun, risiko-risiko muncul dari meningkatnya ketidakpastian mengenai keberlanjutan fiskal, yang berasal dari perbedaan pendapat mengenai utang publik dan defisit fiskal. Hal itu menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya twin deficit, dengan melebarnya defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.
 
Isu-isu tersebut memicu sentimen risk-off, yang berpotensi membatasi aliran modal masuk dan mempengaruhi stabilitas rupiah.
 
Secara global, indikator-indikator ekonomi AS baru-baru ini mengonfirmasi perlambatan ekonomi AS, dengan sektor manufaktur dan jasa yang mengalami kontraksi, disinflasi yang terus berlanjut, dan pasar tenaga kerja yang melemah.
 
Namun, ketidakpastian global juga cenderung meningkat, terutama terkait dengan kondisi politik di Zona Euro dan AS. Perubahan kepemimpinan di Inggris dan Perancis telah membuat investor lebih berhati-hati karena mereka menilai kembali potensi dampak dari kebijakan ekonomi baru di pasar keuangan, terutama pasar obligasi.
 
Selain itu, upaya penembakan terhadap Trump telah meningkatkan peluangnya untuk memenangkan pemilu AS yang akan datang, meningkatkan ketidakpastian pasar karena kemungkinan kebijakannya seperti kebijakan perdagangan yang restriktif dan pemotongan pajak yang diusulkan, yang dapat meningkatkan inflasi.
 
Secara keseluruhan, sentimen risk-off meningkat, dan permintaan terhadap aset-aset safe-haven menguat, membatasi pelemahan indeks dolar AS di tengah melemahnya data ekonomi AS.
 
"Kami memperkirakan bahwa arah kebijakan moneter BI di masa depan terkait BI-Rate akan sangat bergantung pada perkembangan kondisi ekonomi dan politik global, terutama di AS," ujar Josua.
 
Meskipun pasar saat ini mengantisipasi dua kali penurunan Fed Funds Rate (FFR) pada 2024, mulai dari bulan September, ia tetap berpandangan bahwa The Fed hanya akan menurunkan FFR satu kali, yakni di kuartal IV-2024.
 
Fed diperkirakan akan data dependent, dan juga mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih luas dari ekonomi AS, termasuk implikasi dari dinamika politik domestik di tengah pemilihan umum tahun ini.
 
Josua masih melihat bahwa peluang penurunan BI-Rate akan muncul ketika The Fed memulai penurunan FFR.
 
"Oleh karena itu, kami tetap mengantisipasi bahwa BI akan mempertahankan BI-Rate di level 6,25 persen hingga akhir 2024 dan ruang penurunan suku bunga BI diperkirakan akan lebih terbuka pada kuartal I-2025," tuturnya.

Baca juga: Asosiasi pengusaha harap BI tak naikkan suku bunga
Baca juga: Ekonom: BI perlu pertahankan suku bunga BI-Rate di level 6,25 persen
Baca juga: Rupiah melemah usai RDG BI pertahankan suku bunga BI-Rate

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024