Tugas dewan itu adalah berkewajiban untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah
Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai tidak ada persoalan mendasar mengenai perubahan kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dari perspektif hukum tata negara.

Hal itu disampaikan-nya merespons revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres (UU Wantimpres) menjadi DPA yang disetujui sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) usul inisiatif DPR RI.

"Hemat saya tidak ada persoalan mendasar yang kita hadapi dari perspektif hukum tata negara, mengenai perubahan kedudukan Wantimpres yang semula adalah lembaga yang kedudukannya berada di bawah Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung yang kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain," kata Yustril dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

Dia menilai tafsir kedudukan terkait perubahan Wantimpres menjadi DPA yang bakal dilakukan DPR lebih mendekati maksud dari UUD 1945, dibandingkan dengan tafsir pada UU Wantimpres ketika dirumuskan pada tahun 2006.

Dia menjelaskan sebelum amendemen UUD 1945, DPA disebutkan sebagai nomenklatur dan dari segi hukum tata negara digolongkan sebagai "lembaga tinggi negara" yang susunannya ditetapkan melalui undang-undang.

"Tugas dewan itu adalah berkewajiban untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah," ucapnya.

Setelah amendemen UUD 1945, lanjut dia, nomenklatur DPA dihapus. Namun, ketentuan terkait yang mengatur perihal DPA masih ada dan mengalami pengubahan.

Baca juga: Ketua MPR RI nilai tak masalah Wantimpres diubah jadi DPA

Baca juga: Pakar sebut "Presidential Club" tak perlu dilembagakan jadi DPA

Baca juga: Wakil Ketua MPR Syarief Hasan dukung perubahan Wantimpres jadi DPA


"Sehingga berbunyi 'Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang'. Apa nama dewan pertimbangan yang dibentuk oleh Presiden itu, tidak ada nomenklatur-nya di dalam UUD 45 hasil amendemen," tuturnya.

Kemudian, ujarnya lagi, pada UU Wantimpres yang dirumuskan pada tahun 2006 nomenklatur-nya dinamakan menjadi "Dewan Pertimbangan Presiden" dan menempatkan lembaga itu di bawah Presiden.

"Itulah tafsir yang berkembang saat itu. Pemikirannya adalah karena DPA sebagai 'lembaga negara' dihapuskan oleh amendemen, maka kedudukan Wantimpres ditempatkan berada di bawah Presiden sebagai lembaga pemerintah," ujarnya.

Untuk itu, Yusril tidak mempersoalkan jika DPR mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi DPA dan menempatkannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain, sebab tidak ada lembaga lain dalam UUD 1945 yang diberikan kewenangan untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden.

"Apakah nomenklatur-nya akan dinamakan Dewan Pertimbangan Presiden atau Dewan Pertimbangan Agung, kewenangan-nya dengan tegas diberikan oleh Pasal 16 UUD 45, maka dewan itu dapat digolongkan sebagai lembaga negara yang sejajar kedudukannya dapat disejajarkan dengan lembaga-lembaga negara yang lain," ujarnya.

Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI ke-22 Penutupan Masa Persidangan V Tahun 2023-2024 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang akan diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung, menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.

Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus mengatakan usul RUU tersebut berasal dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Dia menjelaskan RUU tersebut merupakan perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres.

"Dapat disetujui menjadi Rancangan Undang-Undang usul inisiatif DPR RI?" kata Lodewijk yang disambut jawaban "setuju" oleh para anggota DPR RI yang menghadiri rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (11/7).

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024