KPK merekomendasikan empat hal yaitu agar pemerintah dan DPR menunda pembahasan dua RUU itu, rekomendasi kedua adalah delik korupsi dan delik luar biasa lain diatur dalam UU tersendiri agar `Lex Specialis` kelihatan,"

Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi merekomendasikan penundaan pembahasan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"KPK merekomendasikan empat hal yaitu agar pemerintah dan DPR menunda pembahasan dua RUU itu, rekomendasi kedua adalah delik korupsi dan delik luar biasa lain diatur dalam UU tersendiri agar Lex Specialis kelihatan," kata Ketua KPK Abraham Samad di gedung KPK Jakarta, Rabu.

Ketiga, ujarnya agar RUU KUHAP sebagai hukum pidana formil sebaiknya dibahas setelah pembahasan RUU KUHAP sebagai hukum formilnya dan terakhir pemberlakuan dua RUU tersebut sebaiknya diberikan transisi tiga tahun untuk menyesuaikan dengan RUU tindak pidana korupsi dan UU lain yang terkait.

Rekomendasi tersebut sudah dikirimkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Dewan Perwakilan Rakyat.

"Surat sudah kami kirimkan hari ini, kami tunggu respon dari presiden dan seyogyanya berpikir positif bahwa rekomendasi yang diajukan KPK itu Insya Allah diikuti, paling tidak pemerintah mengambil langkah yang lebih konstruktif bukan destruktif yaitu dengan menunda atau menarik RUU agar pemberantasan korupsi berjalan dengan kecepatan yang kita inginkan," tambah Abraham.

Namun Abraham menegaskan bahwa KPK tidak dalam posisi serta merta menolak RUU KUHAP dan KUHP.

"Posisi KPK tidak sedang dalam posisi menolak serta merta RUU KUHAP dan KUHP tapi posisi KPK ingin memohon kepada pemerintah dan DPR untuk sebisa mungkin menunda atau menangguhkan pembahasan kedua RUU ini karena KPK melihat ada beberapa hal yang krusial yang kalau dipaksakan akan mengganggu upaya-upaya pemberanasan korupsi yang sedang giat-giatnya dilakukan KPK," jelas Abraham.

Wakil Ketua KPK Zulkarnain menyatakan bahwa pembahasan RUU KUHAP dan KUHP harus optimal agar tidak hanya asal jadi dan hanya menghabiskan biaya.

"RUU KUHP dan KUHAP itu luar biasa, sosilisasinya sangat luar biasa karena KUHP lebih dari 700 pasal, KUHAP 300 pasal, dalam operasionalisasinya tentu tidak semudah itu, bila KUHP yang sekarang ini banyak kelemahannya tentu tapi butuh waktu dalam pembahasannya," kata Zulkarnain.

Namun KPK tidak memberikan tenggat waktu kapan pemerintah dan DPR harus berespon terhadap surat permohonan tersebut.

"Intinya hingga cukup waktu untuk membahas UU vital, sekarang DPR sibuk pemilu, kehadiran-kehadiran juga sudah sangat berkurang, dari sana gambarannya kalau tidak serius dan menggunakan pakar secara substansi tidak mendapat hasil yang baik," jelas Zulkarnain.

Abraham sendiri mengaku baru mengakui bahwa ada sejumlah butir aturan di RUU KUHAP yang merugikan KPK pada April 2013.

"Saat April 2013 kami analisa lebih dalam, cermati, bongkar ternyata delik korupsi masuk ke buku II RUU KUHP, jadi kami anggap bahwa ini ancaman serius kalau dibiarkan berlalu begitu saja, karena itu kami rekomendasikan untuk menunda dan menarik kembali untuk membahas lebih detail, andaikata pemerintah tetap ngotot kami persilakan, tapi delik korupsi seideal mungkin dikeluarkan," jelas Abraham. (*)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014