Ambon (ANTARA) - Akademisi dari Australian National University (ANU) Katrhyn Robinson menyoroti optimalisasi peran perempuan di wilayah kepulauan dalam perubahan iklim pada konferensi internasional Indonesian Regional Scientist Association (IRSA) atau Asosiasi Saintis Indonesia di Kota Ambon, Maluku.

"Seringkali kita memikirkan masalah perempuan dan perubahan iklim di wilayah kepulauan yang cenderung memosisikan perempuan sebagai kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat pada umumnya. Padahal posisi perempuan dalam masyarakat itu bisa di segala lini, tua ataupun muda," katanya di Ambon, Senin.

Berbicara pada konferensi IRSA itu ia mengatakan, masyarakat harus mulai menerapkan kerja sama antara laki-laki dan perempuan saat menghadapi perubahan-perubahan yang terdampak akibat perubahan iklim.

"Faktanya laki-laki juga tidak bisa berdiri sendiri di dalam masyarakat, apalagi jika kita berbicara urusan rumah tangga. Perempuan bisa mengurus segala hal mulai dari rumah tangga termasuk di dalamnya anak, suami, orang tua, keluarga hingga urusan membantu pekerjaan laki-laki," kata dia.

Ia melanjutkan, jika ditinjau dari perspektif feminisme dalam ilmu ekologi harus diperhatikan bagaimana kebiasaan kehidupan perempuan sehari-hari di wilayah kepulauan yang bisa dilakukan bersamaan dengan pekerjaan lainnya. Terlebih lagi terkait dengan bagaimana beban dan kesulitan yang dihadapi serta bagaimana isu ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan letak geografis.

"Masyarakat di Indonesia bagian timur sekarang sedang menghadapi kerusakan lingkungan entah dari kelautan maupun pertanian akibat perubahan iklim, di sinilah dibutuhkan kolaborasi yang nyata tanpa melihat gender apalah itu laki-laki atau perempuan, karena keduanya saling membutuhkan, maka peranannya pun harus pada porsi yang sama," katanya menjelaskan.

Misalnya saja untuk dapat mencakup pendapat seluruh elemen masyarakat, maka dalam pengambilan kebijakan atau solusi sudah seharusnya perempuan mendapat porsi yang sama.

"Kita harus mulai membiasakan diri dalam kehidupan sehari-hari tentang bagaimana mereka bisa berkolaborasi dalam kesetaraan yang dijembatani oleh seluruh elemen yang ada mulai dari pemerintah hingga unsur lainnya," tuturnya.

Robinson mengatakan, jika hal tersebut dilakukan secara berkesinambungan dalam jangka waktu tertentu, maka Maluku akan dapat menghadapi tantangan perubahan iklim dan global karena semua memiliki tanggung jawab yang sama.

Konferensi internasional IRSA di Kota Ambon Maluku akan berlangsung hingga 16 Juli 2024 dan melibatkan saintis dari dalam dan luar negeri serta narasumber akademisi dari mancanegara.

Baca juga: IRSA-Unpatti gelar konferensi internasional tekan kemiskinan

Baca juga: Ilmuwan Jepang kaji perbedaan pendapatan Maluku guna tekan kemiskinan


Pewarta: Ode Dedy Lion Abdul Azis
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024