Jakarta, 18 Februari 2014 (ANTARA) -- Wilayah laut timur Indonesia seperti laut Aru, Arafura, dan laut Timor, hingga kini masih menjadi lumbung ikan nasional. Bahkan laut Arafura dinilai menjadi lumbung ikan andalan dunia. Untuk itu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberi prioritas pengawasan terhadap wilayah ini. KKP kini juga telah meluncurkan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) di 3 wilayah perairan tersebut. RPP yang diberi registrasi Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718 ini diharapkan dapat meningkatkan produksi udang hingga 45% dan ikan demersal naik hingga 20%. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo seusai meluncurkan RPP di wilayah perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor Bagian Timur (WPP 718), di Jakarta, Selasa (19/2).
Sharif menegaskan, peluncuran RPP WPP 718 tersebut sebagai komitmen nyata pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perikanan, untuk merevitalisasi pengelolaan perikanan tangkap di laut Arafura dan sekitarnya. Apalagi laut Arafura dan sekitarnya sebagai salah satu kawasan perikanan tersubur di dunia. Dengan implementasi RPP ini diharapkan devisa negara dapat ditingkatkan serta industri perikanan lokal di Provinsi Maluku, Papua, dan Papua Barat akan tumbuh dan berkembang. Efek selanjutnya, lapangan kerja bagi masyarakat lokal tercipta luas. Diperkirakan minimal untuk 15.000 tenaga kerja bisa terlibat di dalamnya serta tersedia data pengelolaan perikanan yang lebih akurat. "Multiplier effect dari perkembangan industri perikanan tersebut akan menggerakkan sektor produksi dan jasa lainnya di wilayah ini," ujarnya.
Menurut Sharif, RPP WPP 718 disusun secara aspiratif dan terpadu dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. RPP disusun bertujuan untuk melakukan upaya terprogram dalam pengelolaan SDI dan memerangi kegiatan perikanan ilegal yang marak terjadi di wilayah ini. Sehingga sumberdaya ikan dan ekosistemnya terselamatkan dari kegiatan pencurian nelayan asing atau kegiatan IUU fishing lainnya. RPP di tetapkan juga sebagai bentuk tanggung jawab negara dan pelaku perikanan sebagaimana yang diamanatkan oleh norma global tentang tata kelola perikanan yang bertanggung jawab. "RPP WPP-718 ini mendapat dukungan TNI AL, POLRI, Para Gubernur Maluku, Papua, dan Papua Barat, 8 Bupati Kepala Daerah sekitar WPP 718, Pengusaha Perikanan, Perwakilan Negara Sahabat dan Lembaga Internasional, serta lembaga swadaya masyarakat," jelasnya.
Pendekatan Non Konvensional
Menurut Sharif, penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan di Indonesia merupakan sebagai salah satu fokus program kerja KKP di bawah Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Pada periode ini dalam mendukung program industrialisasi perikanan dan kelautan. Penyusunan RPP WPP 718 ini dilakukan dengan pendekatan unconvensional atau pendekatan Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM), yakni pendekatan yang berusaha menyeimbangkan tujuan sosial yang beragam, dengan memperhatikan pengetahuan dan ketidakpastian yang terdapat pada sumberdaya biotik, abiotik, dan manusia sebagai komponen ekosistem dan interaksi mereka. Termasuk, menerapkan pendekatan yang terintegrasi untuk perikanan di dalam batas-batas ekologis yang berarti. "Pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan ini sangat penting diimplementasikan di Indonesia sebagai salah satu acuan penting pengelolaan, menuju perikanan Indonesia lestari untuk kesejahteraan masyarakat," tandasnya.
Ditambahkan, penyusunan RPP WPP 718 dilakukan tim yang beranggotakan perwakilan dari unit-unit eselon I KKP, pakar dari Perguruan Tinggi, dan LSM. Sedangkan untuk meningkatkan kapasitas anggota tim, mereka terlebih dahulu mendapat pelatihan di Amerika Serikat selama 3 minggu. Untuk sosialisasi, selanjutnya dilakukan serangkaian workshop dan konsultasi publik untuk menerima aspirasi stakeholders seluas-luasnya dari tingkat pusat hingga daerah dalam penyusunan dokumen RPP tersebut. Dalam rencana aksi, setiap pemangku kepentingan dituntut komitmen dan tanggungjawabnya secara terpadu dan terukur. Bahkan model kelembagaan baru diformulasikan untuk mengkoordinasikan rencana aksi yang telah disepakati dan dilegalisasi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. "Evaluasi dan review akan dilakukan secara periodik sesuai dengan dinamika perubahan kondisi yang ada. Akhirnya, model rencana pengelolaan perikanan di wilayah ini selanjutnya akan dikembangkan juga di wilayah pengelolaan perikanan lainnya," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama diresmikan juga alat untuk mengevaluasi efektivitas pengelolaan perikanan di Indonesia yang dikenal sebagai indikator Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) atau pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. Pada acara tersebut dilaksanakan pula penandatangan komunike bersama Pengelolaan Perikanan di WPPNRI-718 antara Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Gubernur Maluku, Gubernur Papua Barat, Gubernur Papua, yang disaksikan oleh beberapa Bupati di sekitar kawasan perairan tersebut.
Komunike ini merupakan komitmen bersama untuk menerapkan secara konsisten ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, FAO International Plan of Action for the Management of Fishing Capacity, FAO Internationan Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing, 2001 termasuk FAO Code of Conduct for the Responsible Fisheries, 1995; serta EAFM dalam pengelolaan perikanan di WPP-NRI 718.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Anang Noegroho, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2014