Oleh Arie Novarina

Sepertinya tidak ada hal istimewa di Gunung Anak Krakatau, selain letaknya yang berada di tengah laut. "Turis asing biasanya datang hanya buat `trekking`. Mereka naik ke puncak dan berfoto, itu saja," kata Amir (29), salah seorang penjaga Anak Krakatau. Amir yang berasal dari Pulau Sebesi, pulau yang berjarak dua jam perjalanan dengan kapal dari Anak Krakatau tersebut, malah lebih tertarik untuk menceritakan mengenai kisah misteri yang melingkupi Anak Krakatau. "Kadang-kadang di malam hari kami mendengar suara-suara ramai, padahal tidak ada orang," katanya. Kadangkala disertai dengan penampakan hewan-hewan yang tidak seharusnya berada di Anak Krakatau, karena di pulau yang evolusinya dijaga ketat itu, hingga kini cuma ada burung dan kupu-kupu serta hewan-hewan kecil lainnya. Amir menyebutkan bahwa beberapa pengunjung mengaku melihat hewan-hewan seperti kadal besar atau burung besar, padahal polisi hutan yang melakukan patroli rutin hampir setiap hari tidak pernah menjumpai hewan-hewan itu. "Waktu itu, sekitar bulan Juli, kami mendengar suara ribut di sekitar Pulau," tutur M Ikbal, polisi hutan Kratatau, menambah cerita misterius di Anak Krakatau. Dari berbagai suara tersebut, Ikbal menyebutkan bahwa ia mendengar suara perempuan memanggil nama "Bambang". "Suara kadang aneh, ada dagelan, ada wayang juga," ceritanya. Padahal, sejak bertugas di Anak Krakatau tahun 1991, Ikbal tidak pernah mendengar suara ribut seperti malam itu. "Kami juga melihat ada siluet kapal tapi tidak jelas," katanya. Tengah malam, ia dan penjaga lainnya memutuskan untuk berpatroli mencari sumber suara tersebut. Namun setelah berkeliling menyusuri pulau, mereka tidak menemukan sumber suara tersebut.Misteri vulkanik Orang boleh tidak percaya dengan berbagai cerita misteri dan berbau mistis tentang Gunung Anak Krakatau. Tapi kemunculannya yang penuh kejutan pada tahun 1927 sungguh merupakan misteri vulkanik yang tiada duanya di dunia. Proses kemunculannya Anak Krakatau berawal dari letusan dahsyat "induknya", Gunung Krakatau, pada 27 Agustus 1883. Menurut catatan sejarah, Gunung Krakatau meletus sangat dahsyat, menggemparkan dunia dan menimbulkan tsunami terhebat sebelum bencana tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. Disebutkan bahwa semburan lahar dan abu Gunung Krakatau waktu itu mencapai ketinggian 80 km, sementara abunya mengelilingi bumi selama beberapa tahun. Ledakannya menimbulkan gelombang pasang setinggi 40 meter dan menyapu bersih pantai sepanjang Teluk Lampung dan pantai barat daerah Banten. Sedikitnya 36.000 orang tewas waktu itu dan suara letusannya disebut-sebut terdengar hingga di Singapura dan Australia. Letusan Kratakau juga menimbulkan rangkaian gempa bumi yang menjalar sampai ke Australia Selatan, Srilanka, dan Filipina. Dalam buku "Javanese Book of Kings", disebutkan bahwa Gunung Krakatau Lama (purba) tingginya kala itu mencapai 2.000 meter dengan radius 11 km. Ketika meletus, ledakannya mengakibatkan tiga perempat tubuhnya hancur dan menyisakan gugusan tiga pulau kecil yaitu Pulau Sertung, Pulau Panjang dan Pulau Krakatau Besar. Empat puluh empat tahun kemudian lahir cikal bakal Anak Krakatau. Disebutkan bahwa sekitar tahun 1927 para nelayan yang tengah melaut di Selat Sunda, tiba-tiba terkejut dengan kemunculan kepulan asap hitam di permukaan laut di antara tiga pulau yang ada. Setahun setelah kemunculah asap itu, munculah Gunung Anak Krakatau. Hingga kini, Gunung Anak Krakatau terus "tumbuh", dan ketinggian telah mencapai 280 meter dari permukaan laut. Untuk mendaki puncak Anak Krakatau, diperlukan ijin khusus yang dikeluarkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat. "Ada ijin masuk yang dikeluarkan BKSDA, namanya Simaksi (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi). (Untuk masuk ke Anak Krakatau) sistemnya bukan menggunakan karcis masuk, karena Anak Krakatau adalah cagar alam," kata Kepala BKSDA Lampung, Agus Harianta. Peraturan tersebut, menurut Agus adalah untuk menjamin keamanan para pengunjung, karena Anak Krakatau seringkali menunjukkan aktivitas yang dianggap berbahaya. Bahkan, setelah gempa dan tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 lalu, ada kekhawatiran Anak Krakatau akan meletus. Beberapa kali status aktivitas Anak Krakatau memang ditingkatkan menjadi "waspada", namun pengunjung masih mendapatkan surat ijin jika kondisinya dinilai tidak membahayakan.Cerita misteri bikin lestari Dengan setengah bercanda, Agus berkata, bahwa munculnya cerita misteri yang melingkupi Anak Krakatau, sebenarnya merupakan hal bagus bagi kelangsungan evolusi ekosistem di gunung itu. "Itu bagus karena wisatawan jadi berpikir dua kali untuk datang kesana," katanya sambil tersenyum. Menurut dia, Anak Krakatau sebenarnya memang bukan sekedar daerah wisata, melainkan yang utama adalah fungsinya sebagai cagar alam. Anak Krakatau merupakan "harta paling berharga" bagi ilmu pengetahuan, karena kemunculan gejala gunung berapi dari dalam laut sungguh fenomena sangat langka di dunia. Oleh karena itu ekosistem Gunung Anak Krakatau, yang saat ini terus berevolusi, dijaga sangat ketat kelestariannya. Tercatat hanya empat tujuan, seseorang diperbolehkan menginjakkan kakinya di Anak Krakatau, yaitu melakukan penelitian, pendidikan, pengembangan pengetahuan dan penunjang budidaya. Pengaturan ketat tersebut dilakukan terhadap Gunung Anak Krakatau mengingat kian hari kian banyak wisatawan yang datang berkunjung, baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing. "Hampir tiap minggu ada pengunjung datang dan `trekking` ke puncak. Paling sering turis dari Australia, Perancis dan Jerman," ujar salah seorang awak kapal patroli, Amir. Banyaknya wisatawan ke Gunung Anak Krakatau saat ini, karena rute untuk mencapainya cukup mudah, yakni lewat pelabuhan Canti, Kalianda, Lampung Selatan. Dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung, hanya dibutuhkan waktu satu jam untuk mencapai Pelabuhan Canti, Kalianda, pelabuhan nelayan yang terdekat dengan Krakatau. Wisatawan, dari Canti menyeberang ke Pulau Sebesi, pulau berpenghuni terdekat dengan Krakatau. Dengan menggunakan perahu sewaan, Anak Krakatau dapat ditempuh selama kurang lebih dua jam dari Pulau Sebesi.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006